Dibuang Sayang dari Kunjungan Kanonik di Halmahera Timur, Maluku Utara ( Seri – 1 )
“Bapa Uskup, kami merasa malu karena semua gereja kami di paroki ini tanpa menara dan lonceng sehingga orang mengira gereja kami adalah gudang atau bangunan biasa.”
Ungkapan polos ini keluar dari mulut seorang bapa peserta Wawan hati antara perwakilan umat denganku sebagai Uskup Diosis. Wawan hati ini adalah salah satu agenda wajib bila saya berkunjung ke sebuah paroki, tapi tidak boleh dihadiri oleh Romo paroki sehingga umat bisa sharing dan memberikan keluhan dan jeritan apa saja kepadaku secara bebas.
Paroki St. YOSEP BULI, Halmahera Timur adalah paroki terkecil kedua di Keuskupan Amboina, yang hanya memiliki 365 jiwa yang menyebar dalam 6 stasi dengan keunikan jumlah; Stasi terkecil hanya 4 KK, ada yang 7 KK dan yang lain tak lebih dari 25 KK di semua stasi yang ada di paroki ini. Dalam lawatan kali ini saya hanya berhasil mengunjungi 4 stasi yang jarak tempuhnya antara 2 sampai 3 jam antar stasi.
Dalam Wawan hati di sore itu sungguh bercampur rasa antara prihatin, miris tapi juga bangga terhadap kekokohan iman kekatolikan domba-domba kecil ini di mana mereka tetap bertahan sebagai orang Katolik walaupun hidup di tengah umat Muslim dan Protestan.
Di masa lalu kadang dalam setahun mereka hanya bisa mengikuti satu atau dua kali misa saja akibat dari kurangnya tenaga Romo dan sulitnya transportasi. Bahkan sekarang si Romo pun harus menempuh puluhan kilometer berjam-jam dengan motor buntut bahkan harus menyebrang dengan kapal feri melalui lautan yang luas dan ganas.
Maka tibalah saat Wawan hati dengan umat di mana banyak keluhan dan jeritan dari domba-domba kecil ini yang terungkap. Dan salah satunya adalah jeritan bahwa semua gedung gereja di paroki ini termasuk pusat paroki pun gedung gerejanya tidak ada menara dan lonceng gereja. Demikian pun pada kesempatan kunjungan ini saya memberkati gua Maria pertama yang dibangun di pusat paroki di kota Buli ini, yang akan menjadi tempat berziarah.
Meskipun gereja-gereja mereka tanpa menara dan lonceng tapi domba-domba kecil ini tetap setia mengikuti ibadat dan Misa pada setiap saat kunjungan Romo paroki.
Ini adalah kunjungan perdana sebagai Uskup bahkan selama menjadi Romo pun saya belum pernah mengunjungi paroki ini. Karena itu setelah mendengar keluh kesah dan jeritan mereka maka saya berharap dan berdoa semoga Tuhan menggerakan banyak orang untuk membantu domba-domba kecil ini demi mendapatkan lonceng gereja yang bunyinya bisa memanggil mereka untuk datang beribadat atau misa setiap saat.
Terimalah salam, doa dan berkatku ( Mgr. INNO NGUTRA )