Membaca kembali Sharing Kita Suci
Penghukuman terhadap Cinta Eros?
(Disarikan dari Deus Caritas Est)
Jika orang bertanya apa itu cinta eros, maka segera meluncur jawaban cinta eros adalah cinta yang hanya berorientasi pada tubuh. Cinta yang melulu tentang kenikmatan, nafsu serta keinginan badaniah. Cara pandang ini nyaris menjadi kebenaran yang dipahami berbabad abad lamanya. Coba saja, googeling cinta eros Saya mencari menggunakan microsoft bing dan keluarlah pengertian cinta eros.
“Cinta Eros adalah jenis cinta yang berdasarkan hawa nafsu dan melibatkan unsur seksual atau gairah. Dalam pengertian romantis, cinta ini paling mirip dengan apa yang kita sebut sebagai passionate love. Pada jenis cinta ini, terdapat ketertarikan secara fisik dan rasa ingin saling memiliki Eros merupakan hasrat psikologi yang mencari untuk menghasilkan keturunan atau persatuan dalam sebuah hubungan dengan orang yang dicintai. Jika seks hanya menjadi kebutuhan untuk hubungan seksual saja, maka eros merupakan hubungan seksual yang dilakukan dengan orang yang dicintai dan bukan hanya untuk kebutuhan biologis semata. Dengan kata lain, cinta Eros adalah cinta yang sangat berkaitan dengan seksualitas, gairah, hasrat bergelora, dan romantisme”
“Friedrich Nietzsche berpendapat, agama kristiani telah memberi minum racun kepada Eros; ia memang tidak mati karenanya, tetapi menjadi cacat. Dengan demikian filsuf Jerman itu mengungkapkan pendapat yang tersebar luas: Bukankah Gereja dengan perintah dan larangannya membuat apa yang terindah dalam hidup ini menjadi pahit? Bukankah ia mendirikan papan larangan di mana Pencipta menawarkan kegembiraan dan kebahagiaan, yang sedikit banyak membuat kita mencicipi keilahian?”
Kasih ilahi atau agape dipandang sebagai segala galanya. Jauh lebih positif, sebagai kasih yang agung dan mulia. Sebaliknya kasih eros, kasih manusiawi lebih dipandang sebagai sesuatu yang negatif penuh nafsu biarahi, eros, erotic. Kita tentu secara kritis bertanya dari mana konsep seperti itu lahir dan menjadi bahan ajar, khotbah dari masa ke masa?
Segelintir orang ‘menuduh’ teologi Agustinus ada di balik penghukuman terhadap cinta eros. Konsep eros yang diperlawankan dengan Agape boleh jadi lahir dari dikotomi Agustinus perihal tubuh dan jiwa yang merupakan pengejawantahan dualisme platonik?
Gagasan Paus Benediktus tentang Cinta Eros (Deus Caritas Est, no 4-7)
Namun, apakah begitu? Apakah agama kristiani sungguh menghancurkan Eros? Marilah kita melihat dunia sebelum Kristus. Orang-orang Yunani – demikian pula budaya-budaya lain – semula melihat kemabukan, pemudaran akalbudi oleh “kegilaan ilahi” yang merenggut manusia dari kesempitan hidupnya dan membuatnya merasakan kebahagiaan tertinggi dalam penguasaan oleh kekuatan ilahi itu. Semua kuasa lain antara langit dan bumi nampak sebagai nomor dua. “Omnia vincit Amor”, kata Vergilius dalam Bucolica – “kasih mengalahkan segalanya” Dan ia menambahkan: “Et nos cedamus amori” – “Juga kita menghindari kasih.” Dalam agama- agama sikap ini mengambil bentuk upacara kesuburan, yang mencakup prostitusi “suci”, yang berkembang di banyak kenisah. Dengan demikian Eros dirayakan sebagai kuasa ilahi, sebagai persatuan dengan yang ilahi.
Perjanjian Lama dengan tegas melawan agama semacam ini yang sebagai godaan amat kuat melawan iman akan Allah yang esa, dan memeranginya sebagai penjungkirbalikan apa yang religius. Ia tak menolak Eros sebagai Eros, melainkan memerangi kekuatannya yang membinasakan. Karena pengilahian Eros yang terjadi di sini salah, merampas martabatnya dan melecehkan kemanusiaannya. Para pelacur di kenisah yang harus memberikan kemabukan ilahi, tidak diperlakukan sebagai manusia, melainkan hanya sebagai objek untuk mendatangkan kegilaan ilahi. Mereka itu bukan dewi- dewi, melainkan manusia yang disalahgunakan. Karena itu Eros yang mabuk dan tanpa kendali bukan kemajuan, “ekstase” menuju keilahian, melainkan kejatuhan manusia. Dengan demikian menjadi nyata bahwa Eros membutuhkan pengendalian, pembersihan, untuk memberi kepada manusia bukan kenikmatan sesaat, melainkan prarasa kehidupan yang tinggi – kebahagiaan yang kita rindukan.
Dua hal menjadi jelas setelah selayang pandang memperhatikan gambaran Eros dalam sejarah dan dewasa ini. Yang pertama ialah bahwa kasih sedikit banyak berkaitan dengan yang ilahi. Ia menjanjikan keabadian – yang lebih besar dan sama sekali lain daripada keseharian hidup kita. Namun sekaligus juga jelas bahwa jalan ke situ tidak dapat dicari begitu saja dalam penguasaan oleh nafsu. Diperlukan penjernihan dan pendewasaan, yang juga dapat melalui jalan pantang. Ini bukan penolakan eros, bukan “pengracunannya”, melainkan tindakan menuju keagungannya. Hal ini tergantung pada konstitusi manusia yang terdiri dari jiwa-raga. Manusia menjadi dirinya sendiri bila jiwa-raga menyatu. Tantangan eros diatasi bila persatuan ini berhasil. Bila manusia menghendaki hanya roh dan ingin melecehkan raga hanya sebagai warisan hewani, roh dan raga kehilangan martabatnya. Dan bila ia mengingkari roh dan dengan demikian memandang materi, tubuh sebagai satu-satunya realitas, ia juga kehilangan keagungannya. Gassendi, penganut ajaran Epikurus, sambil bergurau menyapa Descartes dengan “hai roh”. Dan Descartes membalas dengan “hai, tubuh!”
Tetapi bukan roh atau tubuh yang mengasihi – melainkan manusia. Pribadi mengasihi sebagai satu makhluk yang mencakup keduanya. Hanya dalam penyatuan sesungguhnya manusia menjadi dirinya sendiri. Hanya demikian kasih – eros – dapat berkembang menjadi matang dan agung.
Dewasa ini agama kristiani masa lampau sering dituduh memusuhi kejasmanian, dan kecenderungan arah ini juga selalu ada. Namun cara mendewa-dewakan tubuh yang kita alami sekarang, menipu. Eros yang dilecehkan menjadi seks menjadi barang, benda saja, yang dapat dibeli dan dijual. Manusia sendiri dalam pada itu menjadi barang. Sebetulnya hal ini justru bukan sikap positif manusia terhadap tubuhnya. Sebaliknya! Ia menganggap tubuh dan seksualitas semata-mata sebagai kejasmanian yang dikerahkan-nya dan dipakainya dengan perhitungan. Itu bukan ruang kebebasan- nya, melainkan sebagai sesuatu yang dengan caranya sendiri dicobanya dijadikan sumber kenikmatan dan dihancurkannya. Sebenarnya kita berhadapan dengan pelecehan tubuh manusia yang tidak diintegrasikan dalam keseluruhan kebebasan hidup kita, bukan lagi ungkapan hidup keseluruhan eksistensi kita, melainkan dimerosotkan menjadi hal biologis belaka. Penghargaan semu terhadap tubuh dapat cepat berubah menjadi kebencian terhadapnya. Sebaliknya iman kristiani senantiasa memandang manusia sebagai dwitunggal; padanya roh dan materi saling meresapi dan dengan demikian keduanya mengalami keluhuran baru. Ya, eros ingin menarik kita kepada yang ilahi, membawa kita mengatasi diri sendiri, maka ia menuntut jalan menaik, pantang, pembersihan dan penyembuhan.
Bagaimana kita harus secara praktis membayangkan jalan kenaikan dan pembersihan ini? Bagaimana kasih harus dihayati, agar janji insani dan ilahinya terpenuhi? Petunjuk penting pertama dapat kita temukan dalam Kidung Agung, kitab Perjanjian Lama yang dikenal para mistisi. Menurut kebanyakan pendapat dewasa ini syair-syair kitab ini semula nyanyian asmara, yang barangkali konkret dimaksudkan untuk pesta perkawinan Israel; pada kesempatan itu kasih suami-istri dijunjung tinggi. Amat instruktif bahwa dalam menyusun kitab ini dipakai dua kata untuk “kasih”. Pertama kata “dodim” – bentuk jamak, yang diganti dengan kata “ahaba” yang dalam terjemahan Yunani Perjanjian Lama diselan dengan kata yang bunyinya hampir sama “Agape” dan – seperti kita lihat – menjadi kata pengenal untuk pemahaman alkitabiah kasih. Berbeda dengan kasih yang masih tak mencari dan tak menentu dalam kata “Agape” diungkapkan pengalaman kasih, yang kini sungguh berarti menemukan sesama dan dengan demikian mengatasi unsur egoistis yang semula masih jelas ada. Kasih kini menjadi keprihatinan dan perhatian bagi orang lain. Ia tak lagi mencari diri sendiri – yakni tenggelam dalam kemabukan kebahagiaan -, melainkan apa yang baik bagi yang dikasihi. Ia menjadi pantang, ia bersedia berkurban, ia menghendakinya.
Jalan kenaikan kasih dan pemurniannya batinnya berarti bahwa kasih menghendaki keadaan definitif, dalam dua arti: dalam arti eksklusivitas – “hanya orang satu ini” – dan dalam arti “untuk selamanya.” Seluruh eksistensi dicakupnya dalam semua dimensinya, juga dimensi yang menyangkut waktu. Hal ini tak bisa lain, karena janjinya menyangkut keadaan definitif: Kasih menghendaki keabadian, Ya, kasih adalah “ekstase”, tetapi ekstase tidak dalam arti saat kemabukan, melainkan ekstase sebagai jalan tetap dari kungkungan diri sendiri ke penganugerahan diri, untuk penyerahan dan justru karena itu penemuan diri, ya, sampai menemukan Allah: “Barangsiapa berusaha menyelamatkan nyawanya, akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya, akan menyelamatkannya” (Lk 17: 33), kata Yesus – perkataan yang dalam pelbagai variasi kembali dalam injil- injil (bdk. Mt 10: 39; 16: 25; Mk 8. 35; Lk 9: 24; Yoh 12: 25). Dengan itu Yesus melukiskan jalan-Nya sendiri, yang melalui salib sampai kepada kebangkitan – jalan biji gandum, yang jatuh ke dalam tanah dan mati, dan dengan demikian menghasilkan buah melimpah, tetapi ia melukiskan juga hakikat kasih dan eksistensi manusia pada umumnya, dari pusat kurban-Nya sendiri dan di dalamnya kasih yang menuntaskan dirinya.
Perenungan kita tentang hakikat kasih yang semula bersifat filosofis membawa kita kepada iman alkitabiah. Pada awal pertanyaannya ialah, apakah arti kata kasih yang berbeda-beda, ya bahkan bertentangan itu mengacu kepada suatu kesatuan atau apakah arti-arti itu hanya berdampingan tanpa hubungan, tetapi terutama pertanyaan, apakah amanat kasih yang diwartakan Kitab Suci dan tradisi Gereja mempunyai hubungan dengan pengalaman umum manusia akan kasih atau barangkali berlawanan dengannya.
Dalam pada itu kita menjumpai kedua kata dasar Eros sebagai lukisan kasih “duniawi” dan Agape sebagai ungkapan kasih yang berdasarkan iman dan diresapinya. Keduanya seringkali juga dipertentangkan sebagai kasih dalam garis naik dan kasih dalam garis menurun, dekat dengan sikap-sikap lain seperti pembedaan antara kasih yang mengingini dan kasih yang memberi (amor concupiscentiae – amor benevolentiae); padanya masih ditambah- kan kasih yang mengarah pada manfaat.
Dalam diskusi filosofis dan teologis pembedaan ini seringkali dipertajam menjadi perten-tangan. Yang kristiani ialah kasih yang menurun dan memberi, Agape, sedangkan tak kristiani, terutama budaya Yunani yang diwarnai kasih menaik, mengingini, Eros. Bila pertentangan ini dijalankan secara radikal, ciri khas agama kristiani dicabut dari konteks mendasar kemanusiaan dan dijadikan dunia tersendiri, yang memang dapat dianggap mengagumkan, tetapi terpotong dari keseluruhan eksistensi kemanusiaan. Sesungguhnya eros dan agape – kasih menaik dan menurun – tak pernah dapat dipisahkan satu sama lain. Semakin keduanya tampil menyatu sewajarnya dalam dimensi berbeda dalam realitas kasih yang sama, semakin terwujudlah hakikat kasih sejati. Bila eros pada permulaan terutama menuntut dan pada garis menaik, pesona oleh janji besar kebahagiaan – maka dalam mendekati orang lain makin sedikit memperhatikan diri sendiri, makin menghendaki kebahagiaan orang lain, makin memperhati- kannya, menganugerah-kan diri, mau berada baginya. momen agape menjadi bagiannya, kalau tidak ia gugur dan juga kehilangan hakikatnya. Sebaliknya manusia tak bisa hidup dalam kasih yang menurun. Ia tak dapat selalu hanya memberi, ia juga harus menerima. Barangsiapa mau menganugerahkan kasih, harus sendiri dianugerahi. Memang, manusia bisa- seperti kata Tuhan kepada kita – menjadi sumber, dari mana arus air hidup datang (bdk. Yoh 7: 37-38). Namun agar ia menjadi sumber seperti itu, ia sendiri harus selalu minum dari sumber asli – pada Yesus Kristus; dan dari hati-Nya yang terbuka mengalir kasih Allah sendiri (bdk. Yoh 19: 34)
Pada minggu besok, bacaan Kitab Suci khususnya Injil akan menguraikan tentang kasih. Semoga dikotomi antara agape dan eros tidak diperlawankan satu dengan yang lain apalagi menghukum yang satu dan mengagungkan yang lain tetapi dipahami dan diletakan secara proporsional. Cinta manusiawi dan ilahi yang saling melengkapi. Eros secara hakiki tertanam dalam diri manusia. Dalam konteks rohani, eros mengacu pada pengalaman puncak dari keberadaan kita sebagai manusia, yaitu persatuan dengan Tuhan. Ini melibatkan keterlibatan tubuh dan jiwa serta penyangkalan diri dan pemurnian.
C.S Lewis mengungkapkan dengan bagus, the human love can be glorious imagine of Divine Love.
Jemy b msc