SURAT CINTA DARI TANAH PAPUA UNTUK USKUP AMBOINA

Dari: Soleman Itlay –Umat Katolik di Keuskupan Jayapura.

Ditujukan kepada: Yang Mulia, Uskup Amboina, Mgr. Seno “Inno” Ngutra, Pr di Kediaman Keuskupan Amboina.

Perihal: Menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya dan penghormatan setinggi-tingginya.

Alamat: Sementara tinggal di kota Jayapura; Gmail: da************@gm***.com

Salam damai Tuhan dari Tanah Hitam, Tanah Besar (Fafaduai/Dobo), dari negeri matahari terbit, Tanah Papua, tempat dimana nenek moyang Yang Mulia juga pernah datang untuk misi keselamatan hidup manusia, berkorban untuk manusia, berkaya untuk manusia, berjasa untuk manusia dan merasakan suka duka bersama manusia Papua di Tanah Papua selama bertahun-tahun lamanya.

Sejarah masa lalu ini tidak bisa kami balas dengan apapun. Keringat orang Kei di Tanah Papua tidak bisa dibalas dengan Emas, perak, uranium, tembaga dan segala sesuatu pun. Kebaikan orang Kei di Tanah Papua melampaui batas kemanusiaan yang adil.

Kami hanya bisa mengingat, menghormati, mengakui, menerima dan hidup rukun dan damai sebagai sesama manusia, yang serupa dan segambar dengan Allah juga sebagai sesama manusia yang memiliki hubungan erat dalam sejarah masa lalu.

Lebih daripada itu, kami hanya bisa mendoakan para arwah leluhur orang Kei dan kami orang Papua untuk mereka hidup damai bersama para Kudus di kerajaan sorga. Tapi juga kami akan selalu berusaha untuk hidup berdamai dan sungguh-sungguh bersahabat dengan saudara/i terkasih dari Kei di Tanah Papua.

Pada kesempatan ini, saya hendak menyampaikan ucapan terima kasih sedalam-dalamnya dan penghormatan khusus yang setinggi-tingginya kepada Yang Mulia, karena pada Jumat 3 Februari 2023, di Gereja Katolik “Kristus Juruselamat” Kotaraja, Kota Jayapura, Papua telah mengangkat, membangkitkan dan menyegarkan semangat melalui pesan-pesan moral yang luar biasa.

Yang Mulia, mulanya saya sudah memprediksi bahwa Bapa Uskup akan hadir dalam Misa Tahbisan Episkopal untuk Uskup Auksilier, Mgr. Yanuarius Teofilus Maatopai You di Katedral “Kristus Raja” Jayapura pada Kamis 2 Februari 2023 lalu.

Oleh karena itu, saya tidak kaget ketika melihat foto-foto dan informasi yang beredar tentang perjalanan menggunakan pesawat terbang dari Ambon ke bandara udara Theis H. Eluay atau Bandar Udara Sentani. Saya juga tidak terlalu ragu kalau Yang Mulia akan menghadiri misa tahbisan tersebut.

Saya sudah percaya dengan mengingat hubungan emosional kita, sejarah masa lalu yang cukup erat dan sebagai sesama ras “Melanesia” yang memiliki hubungan persaudaraan komunal, saya sungguh meyakini bahwa Yang Mulia tidak akan tinggal santai dan membiarkan “Kakaknya saudaranya di Negeri Matahari Terbit” ditahbiskan sendiri.

Saya sudah membulatkan kepercayaan dua kali lipat bahwa Bapa Uskup akan hadir dalam Misa Tahbisan Episkopal ini, karena lain hal mengingat kedekatan wilayah pastoral juga sebagai sesama Katolik serta sebagai orang pribumi setempat (Maluku) yang lebih dulu ditahbiskan oleh Duta Besar Vatikan untuk menjadi Uskup Keuskupan Amboina.

Tetapi ada hal yang nampak di luar dugaan saya adalah pesan moral atau pesan pastoral yang disampaikan oleh Bapa Uskup kepada orang Kei di Gereja Katolik “Kristus Juruselamat” Kotaraja Dalam pasca Misa Tahbisan Episkopal, Jumat 3 Februari 2023 kemarin.

Saya tidak tahu bahwa Bapa Uskup akan melakukan misa bersama orang Kei di paroki tersebut. Dalam hemat saya, setelah Bapa Uskup Yan ditahbiskan, besoknya Yang Mulia langsung berangkat ke Ambon. Ternyata Yang Mulia ada pimpin misa di tempat ini.

Saya kaget ketika Bapa Peta Maturbongs, salah seorang tokoh katekis asal Kei yang lahir besar di Tanah Papua (Kokonau, Mimika), membagikan video berdurasi 26 menit di group yang kami sama-sama gabung.

Dalam kesempatan itu, Bapa Uskup sampaikan pesan moral yang sangat luar biasa. Sebuah pesan yang sungguh-sungguh di luar dugaan orang Kei dan Papua. Pesan yang cukup menggugah hati dan jiwa raga semua orang.

Bahkan pesan moral yang cukup menimbulkan beragam pertanyaan setelah sekian lama (semisal karena “Otsus Papua”) memecah belah dan membangun sekat-sekat antara orang Papua dan Kei. Pesan yang membuat saya pun tiba-tiba merindukan semangat pelayanan para leluhur dan orang tua Kei di Tanah Papua untuk menerangi hati, pikiran, jiwa raga, akal Budi dan lainnya bagi orang Papua di Tanah Papua.

“Sekali lagi saya tekankan, inggat pesan pertama saya. Hidup di Tanah papua, maka seyogyanya, seharusnya berikanlah penghormatan yang setinggi-tingginya, selayak-layaknya kepada orang suku asli Papua. Sekian dan terimakasih.”

Itu merupakan kutipan pesan yang menggugah hati dan jiwa raga saya. Setelah mendengar suara Tuhan dalam Suara Kenabian Bapa Uskup untuk orang Kei dan juga orang Papua ini, saya menangis. Karena terharu saya menonton hampir 10 kali lebih.

Saya tidak mau menulis panjang lebar, seandainya kalau saya ada nomor kontak dari Yang Mulia. Pasti saya akan chat, SMS atau telepon kepada Bapa Uskup hanya untuk menyampaikan ucapan terima kasih. Jika lama di Jayapura dan jika Tuhan kehendaki untuk bisa berjumpa, saya sungguh-sungguh ingin berjumpa dengan Bapa Uskup dalam kerendahan hati Kudus Yesus.

Tetapi orang seperti saya yang tidak memiliki power ini sulit sekali untuk berjumpa dengan Bapa Uskup, jadi biarlah saya menulis saja seperti ini. Siapa tahu Yang Mulia bisa membaca, itu akan menjadi kehormatan bagi saya secara pribadi tapi juga bagi kami orang Papua (Katolik).

Bapa Uskup saya secara pribadi akan merindukan suara kenabian Bapa Uskup untuk kami disini dengan mengikuti garis sejarah kita di masa lalu. Saya ingin sekali kami sadar karena kami masih merawat ingatan akan sejarah perjuangan dan pengorbanan orang tua masa lalu.

Yang Mulia, Tuhan memang melarang keras untuk orang tidak menoleh ke belakang, sebab orang bisa terkutuk dan mengalami nasib buruk, seperti peristiwa Sodom dan Gomora.
Tetapi di lain sisi saya sadar, bahwa tidak ada masa depan tanpa masa lalu.

Untuk menuju kepada masa depan yang cerah, kita harus berdamai dengan masa lalu. Kita semua saling merindukan itu. Orang Kei merindukan kehangatan hubungan emosional dengan orang Papua seperti dulu. Tapi juga orang Papua merindukan hal serupa.

Bila ada kekeliruan dan kesalahpahaman, berarti disitu ada orang yang tidak tahu sejarah masa lalu, hubungan emosional, pengabdian orang-orang tua dari Kei maupun bagaimana orang-orang disini dulu menerima dengan cinta yang sangat mendalam maknanya.

Suara gembala seperti itu sangat penting dan menggugah hati kami. Tentu saja kami akan tetap merindukan suara kenabian yang berasaskan pada beban moril masa lalu dan masa kini. Kami harap Bapa Uskup tidak lupa kami di Tanah Papua dalam suka maupun duka. Mohon untuk senantiasa mendoakan kami meskipun berbeda keuskupan, Yang Mulia.

Jangan lupa kami yang di belakang. Mohon untuk tenggelam atau bertolak ke tempat yang lebih dalam lagi, yaitu; dalam suka duka hidup yang penuh doa, pergumulan, kerinduan, cita-cita dan harapan kami bersama orang Kei di Tanah Papua. Mohon doa, kepedulian, dan rahmat dari Yang Mulia untuk kitong disini.

Akhirnya saya ucapkan terima kasih banyak kepada para leluhur orang Kei dan semua orang yang lagi besar dan yang hidup berkarya di Tanah Papua, termasuk Yang Mulia. Kapan kitong duduk makan papeda dan pinang sama-sama di para-para adat (gereja)? Salam cinta dan kasih sayang. Salam damai dan salam erat. Abadi dan kekal.

Demikianlah surat cinta dari Tanah Hitam, dari orang-orang dari Tanah Besar (Fafaduai), Papua. Terimakasih Yang Mulia, Bapa Uskup Amboina, Mgr. Seno “Inno” Ngutra, Pr. Salam erat dalam doa “Duc in altum” (Lukas 5:4).

Jayapura|Senin, 6 Februari 2023.
Noth!