TIDAK ADA TEMPAT BAGI UMAT, TAPI ADA HATI UNTUK YESUS

BER – DUC IN ALTUM DI BAWAH TEMA, “SATU CINTA 1000 SENYUM.” ( Seri – 3 )

TIDAK ADA TEMPAT BAGI UMAT TAPI ADA HATI UNTUK YESUS DI HARI NATAL ( Oleh : Calon Katekis Johana Alfonsina Kloatubun )

Tabat adalah salah satu desa kecil di Kabupaten Buru Selatan yang beribukotan Namrole, yang sekaligus menjadi pusat perkotaan dan pemerintahan. Dan salah satu desa di pinggiran kota Namrole, namanya Masnana adalah desa yang berbasis Katolik di antara mayoritas Islam dan Protestan.Masnana juga menjadi pusat Paroki St. Antonius dari Padua Buru Selatan yang hanya meliputi 2 stasi yakni; Masnana dan Leksula serta dua stasi diaspora yang jemaatnya berasal dari suku asli.

Ketika tiba di Namrole dengan kapal Elisabeth, kami secara langsung disuguhkan dengan pemandangan alam yang begitu luar biasa indahnya, yang berlatar belakang bukit batu yang indah mempesona. Dan setelah menunggu beberapa menit, Pastor paroki datang menjemput kami membawa ke rumah pastoran dengan menggunakan mobil pick up. Di lokasi Pastoran ini, kami sekali lagi dibuat terpesona dengan pemandangan indah di mana tempat tinggalnya pastor paroki dibangun di atas pohon bakau yang indah permai.

Keesokan harinya saat sarapan pagi bersama, kami langsung berembuk membahas tempat-tempat yang akan kami datangi untuk pelayanan selama masa Natal. Awalnya kupikir bahwa dari paroki Namrole tersebut, kami berempat (Tim Buru Namrole) akan dibagi satu stasi 2 orang, tapi ternyata tidak seperti itu, kami dibagi tugas yakni masing-masing orang satu stasi yang akan didampingi oleh Pastor, Frater dan Suster. Hasil undian menempatkanku bersama seorang suster Tarekat Maria Mediatrix di sebuah stasi diaspora yakni Tabat .

Sebelum berangkat ke tempat pelayanan, terlintas dalam benakku bahwa tempat yang akan didatangi ini terdapat banyak umat dan memiliki gedung gereja. Maka dengan menggunakkan sepeda motor kami akhirnya tiba di tempat tujuan, desa Tabat. Jujur saja bahwa ketika sampai di desa ini aku agak kaget dengan apa yang terlihat; Hanya ada 8 umat, gedung gereja pun tidak mereka miliki, apalagi pengetahuan menyangkut liturgi pasti tidak mereka punyai. Umat Katolik ini berasal dari suku asli yang walaupun sudah menganut agama Katolik tapi sangat nampak keterikatannya pada hal-hal yang berhubungan dengan magic dan ritual adat yang mereka pegang erat secara turun temurun.

Perayaan Natal pun dimulai, yang dipimpin oleh Suster. Dan karena tidak ada gedung gereja maka kami hanya menggunakan sebuah rumah yang menjadi tempat ibadat Natal kami. Ya, memang tidak ada tempat bagi umat untuk beribadat, tapi tetap ada 10 hati bagi Yesus untuk lahir dan tinggal di hari Natal yang sederhana ini.

Meyaksikan semua kesederhanaan perayaan Natal kali, aku dibuat haru tapi penuh sukacita karena aku membayangkan Natal pertama bayi Yesus yang penuh kesederhanaan dalam kesunyian dan kesepian kandang di Betlehem. Ya inilah Natal sesungguhnya. Terima kasih Yesus karena Engkau mengizinkanku untuk mengalami kesunyian Natalmu di Betlehem 2000 – an tahun lalu.

Dari pengalaman ini aku belajar sekaligus ingin katakan bahwa Natal bukan hanya sekedar kue, perayaan yang meriah, pohon natal yang indah, musik natal yang bunyinya bombastis, atau menjadi kesempatan untuk mabuk-mabukan, pesta pora, dan lain sebagainya, melainkan kesempatan untuk belajar tentang kesederhanaan dan kerendahan hati dari Allah yang rela menjadi manusia dan tinggal di antara kita. Umat diaspora Tabat telah memberiku makna Natal yang sejati, yang takan pernah aku lupakan sepanjang hidupku.

Maka di akhir tulisan berserakan ini, pantaslah kuucapkan terima kasih atas pengalaman berharga ini. Terima kasih kepada Bapa Uskup yang telah mengutusku ke sini. Terima kasih kepada Pastor dan umat paroki Namrole khususnya umat diaspora di stasi Tabat atas kebersamaannya selama masa Natal yang indah ini.

Sampai Jumpa di Lain Waktu🖐 ( Jo Kloatubun )