IMAN MENGATASI PRIMORDIALISME

DAILY WORDS, SENIN, 16 SEPTEMBER 2024
HARI BIASA DALAM PEKAN BIASA XXIV
PW MARTIR ST. KORNELIUS, PAUS, & ST. SIPRIANUS, USKUP
BY RP. PIUS LAWE, SVD

BACAAN I : I KOR 11: 17 – 26
MAZMUR : MZM 40: 7 – 8a. 8b 0 9. 10. 17
INJIL : LUK 7: 1 – 10

@ Saya memberi judul atas refleksi hari ini sekedar memberi penekanan pada sikap batin si perwira Romawi, baik terhadap hambanya maupun terhadap Tuhan Yesus ( Yang Kudus). Pertama , terhadap hambanya yang sakit keras. Perwira tidak peduli jika yang sakit ini adalah seorang “hamba”. Dia lebih memandang “hamba” sebagai seorang manusia yang bermartabat yang membutuhkan pertolongan di saat susah atau sakit. Inilah sesungguhnya suatu sikap yang terpuji. Baik juga jika saya sebagai imam, tidak melihat posisiku sebagai “kaum tertahbis” yang menjaga jarak, apa lagi dengan mereka yang mungkin dianggap rendah di dalam masyarakat. Iman yang teguh pada Tuhan yang telah berinkarnasi tentunya mengatasi apapun perasaan “superior” yang mungkin ada di dalam diriku. Apalagi ketika saya tidak sadar, cenderung bersikap “over clericalist”. Sikap perwira Romawi yang rendah hati di atas juga saya temukan di dalam diri semua orang yang hari-hari ini saya jumpai dalam upaya menggalang dana bagi Pembangunan Gereja Stasi Waipia. Mereka sudah menjadi contoh yang baik bagiku. Tanpa melihat dari mana saya berasal, warna kulit, tampang, dst., mereka tergerak untuk berusaha menolong umat yang ada di parokiku di pulau Seram. Sungguh iman yang mereka hidupi mengatasi segala macam perasaan dan kondisi yang dapat menjadi tembok pemisah atau “ gap ” antara diri mereka dan orang lain. Danke banya banya untuk semua yang telah menolong sesama tanpa ada syarat atau kondisi yang menghimpit atau merasuki dirinya.

@ Kedua , sikap iman dan batin dari Perwira terhadap Yesus. Baginya, menjadi seorang Romawi yang nota bene adalah bangsa penjajah, tidak membatasi dirinya dengan Yesus, yang adalah seorang Yahudi. Dia lebih melihat apa yang unique atau khusus di dalam diri Yesus. Lebih terpuji lagi ketika si perwira Romawi ini sudah memandang jauh lebih ke dalam ( deepest into ) diri Yesus sebagai “bukan sekedar Yahudi” melainkan “ Yang Kudus ”. Hal pertama, dia menyatakan ketidak-layakannya untuk dekat atau dikunjungi oleh “ Yang Kudus ” karena dia bukan seorang Yahudi. Dalam pandangan orang Yahudi, bagi pendatang atau perantau atau penjajah, mereka hanyalah Kumpulan kaum kafir yang tidak mengenal Allah Israel. “ Tuan, jangan bersusah-susah, sebab aku merasa tidak layak menerima Tuan dalam rumahku. Sebab itu aku juga merasa tidak pantas datang sendiri mendapatkan Tuan. Tetapi katakanlah sepatah kata saja, maka hambaku itu akan sembuh …”. Hal kedua berhubungan dengan sikap batin sang perwira itu adalah merasa dirinya sebagai seorang yang tidak layak, mungkin karena pekerjaan atau tugasnya sebagai seorang perwira. Di dalam tugas mempertahankan kedaulatan kekaiseran Romawi, mungkin saja dia banyak melakukan hal-hal yang melukai hati sesama, apalagi bawahannya di dalam kesatuan ketentaraan. Hal inilah yang membuat dia merasa tidak layak untuk ada di hadapan atau didatangi oleh “ Yang Kudus”.

@ Ketiga , sikap Yesus. Justru Yesus memuji iman sang Perwira yang sungguh-sungguh mengatasi/ over coming semua kondisi kemanusiaan yang melilitnya. Kondisi kemanusiaan ini yang saya sebut sebagai primordialisme, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan “ sentiment atau rasa ” kesukuan, kelas, warna kulit, status, pekerjaan, tingkat ekonomi, dst. Yesus sungguh-sungguh memberi penekanan pada “ iman si perwira ” yang melampaui semua kondisi di atas. Apalagi, kerendahan hati si perwira berhadapan dengan “ Yang Kudus ” yaitu Yesus sendiri. Bagi si perwira, untuk menghadap “ Yang Kudus ” kita mesti mengatasi semua rasa kemanusiaan yang membuat kita menjaga jarak dengan sesama yang lain.

@ Keempat , point yang ketiga di atas ditekankan juga oleh St. Paulus di dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus. Hendaknya kita menghindari “pertemuan-pertemuan” yang tidak mendatangkan kebaikan melainkan keburukan”. Artinya, kita membuat pertemuan atau perjumpaan bukan untuk sebuah perjamuan yang kudus melainkan untuk hal-hal lain yang bersifat memecah belah satu dengan yang lain. Hal ini dapat berarti, pertemuan atau perjumpaan itu kita kamuflasekan sebagai “ Perjamuan ” atau menghadirkan “ Yang Kudus ”. Dalam hal ini, hendaknya perjumpaan di dalam doa, ibadat bersama atau bahkan Ekaristi, hendaknya menjadi perjumpaan yang membuat kita menyadari kehadiran “ Yang Kudus ” dan bukan sebaliknya. Sama halnya juga jika kita merasa biasa-biasa saja untuk datang berkumpul atau beribadah dengan membawa sejuta rasa primordial, superior, dendam, iri hati, cemburu, kemudian kita begitu percaya diri bahwa kita sungguh-sungguh merayakan kehadiran “ Yang Kudus ”. Inilah fungsi dari upacara tobat (Sakramen Rekonsiliasi) dan pernyataan tobat sebelum kita menghadap hadirat Allah.

@ Akhirnya, mari kita saling mendoakan, semoga apapun perjumpaan yang kita alami, hendaknya menjadi perjumpaan yang membawa damai dan keselamatan, dan bukan perpecahan. Kita saling mendoakan, semoga kita menjadi rendah hati seperti Perwira Romawi, yang tidak memandang sesama dari segi kelas ekonomi, kelas sosial, warna kulit, jenis rambut, agama, golongan, suku, dst. Kita saling mendoakan, semoga Roh Kudus dapat menguasai diri kita agar kita boleh mengatasi semua rasa “ primordial ” di dalam diri kita dan hal-hal sentimentil lainnya, agar kita dapat dengan hati yang tulus dan murni ada di hadirat “ Yang Kudus ” apalagi menyantap Tubuh dan Darah dari Dia – Sang Maha Kudus. Have a wonderful day filled with a loving and merciful heart. Warm greetings to you all… padrepiolaweterengsvd…🙏🏽🙏🏽🙏🏽🙏🏽🙏🏽