PERJALANAN TAK TERDUGA: BANGKU JADI ALTAR

Pengalaman Romo Paroki Pinggiran di Keuskupan Amboina

Hari ini adalaha hari Raya Kristus raja semesta Alam. Berdasarkan jadwal, saya misa jam 7 pagi di stasi Kramat, Jam 9 di pusat paroki, dan jam 5 sore di stasi bawang. Akibat hujan deras, maka seusai makan siang, saya ditemani 4 OMK dan pebimas Katolik memilih pergi lebih awal dengan motor agar tidak terburu-buru karena jalanan menuju stasi bawang licin dan rusak. Bawang dalam bahasa Taliabu artinya Mangga

Tepat jam 4 sore, kami tiba di stasi bawang, dan langsung disambut oleh Bapa Yan (satu2nya guru katolik dan juga katekis awam handal) dan berkata “maaf Bapa pastor, kami tidak dapat informasi apapun kalau pastor mau kunjungi stasi ini, sehingga kami sudah ibadah tadi pagi jam 9”. Hmmm.. Maklumlah signal sangat2 buruk sehingga pesan jadwal yg dikirim dari hari kamis, ternyata belum masuk.
Dengan nada pasrah saya langsung bilang “ya sudah tidak apa2”, tapi dalam hati agak menyesal karena semua perjalanan ini terasa sia2.
Tetapi kemudia bapanya menyambung, “tapi ini pastor saya dan istri lagi siap2 mau jalan pergi pelayanan di desa rata.
Saya kaget karena baru tau kalau ada umat katolik di desa itu. Dari informasi, saya kemudian tau, bahwa umat ini mereka berjumlah 3 KK dengan jumlah jiwa 13. Mereka berasal dari Samuya (flores), banggai dan umat asli Taliabu.
Biasanya mereka bergabung dan sembahyang di stasi bawang. Hanya saja karena cukup jauh, dan tidak punya kendaraan, sehingan 2 bulan terakhir Bpk Yan yg berinisiatif naik pelayanan di kampung mereka pada sore hari, karena beliau ada motor.

Mendengar itu, tanpa pikir dua tiga kali, saya langsung bilang kalau bgitu mari kita rame2 pergi misa di sana.

Yang menarik adalah, namanya desa Rata, tapi lokasinya di gunung dan jalannya menanjak. Kami dari stasi bawang dengan sepeda motor kurang lebih 35 menit, lalu kemudian jalan kaki 30 menit karena jalannya benar2 becek akibat hujan.

Sesampai di sana, ternyata mereka sudah menunggu kedatangan Bapa Yan. Hanya saja mereka benar2 kaget karena tidak menyangka seorang pastor ada dalam rombongan itu dan tiba di dusun mereka. Mereka begitu bahagia dan cepat2 mempersiapkan segala sesuatu. Saya kemudian membersihkan diri di sungai (karena mereka tidak punya kamar mandi. Semuanya mandi di sungai), lalu merayakan ekaristi bersama.
Kami diisinkan menggunkan gereja protestan untuk merayakan ekaristy, karena orang Katolik tidak punya tempat ibadah. TAPI karena bukan gereja katolik, maka cuma ada mimbar, tidak ada meja untuk altar. Di rumah umat juga tidak ada meja, karena rumah mereka adalah rumah panggung, yg semua aktifitas di buat di lantai saja. Maka dengan segala permohonan maaf pada Tuhan, saya menggunakan BANGKU sebagai ALTAR untuk merayakan ekaristi.
Seusai misa mereka begitu bahagia, karena baru pertama kali ada perayaan ekaristy di dusun ini.

Sayangnya perjumpaan kami tidak lama, karena sudah jam 6 sore dan kami harus cepat kembali. Sebab jalannya sangat2 becek akibat hujan. Mereka meminta agar sesekali pastor boleh rayakan ekaristy lagi di dusun ini. Dan dengan senyum saya berjanji bahwa kita akan sering berjumpa di bawang, tetapi sesekali kita akan merayakan lagi ekaristy di sini. Ini bukan pertama dan terakhir, tetapi ini adalah awal dari misi di dusun Rata.

Bagi saya, INI benar2 sebuah perjalanan yang tak terduga, tapi sunggguh2 bermakna. Yang membuat saya turun dari gunung dengan sukacita adalah, iman mereka yg begitu teguh karena setia bertahan dengan iman mereka ditengah minimnya pelayanan. Dan inilah yg diharapkan dari perayaan hari ini, yakni Kristus merajai seluruh hidup kita.

Terima Kasih Yesus Kristus raja semesta Alam.

Terima kasih umat GPM (sudah kasih gedung gereja untuk ibadah)

Salam dari Taliabu.
Romo Erol.