KISAH SANG GEMBALA DI ANTARA BAU KERINGAT DOMBA-DOMBANYA

Kunjungan Kanonik Mgr. Inno Ngutra, Uskup Diosis Amboina di Paroki-paroki Pinggiran di Pulau Teor, Kabupaten Seram Bagian Timur ( Kamis, 03 November 2022 : Seri – 10)

Langkah kaki sang gembala tetap bergerak maju di antara tubuh-tubuh kami yang berkeringat, yang menebarkan wangian tak sedap, tapi justru dalam kerelaan beliau seperti itulah, kami baru benar-benar merasakan apa artinya seruan Paus Fransiskus agar ” para gembala harus berbau domba.”

Aku tahu bahwa sang gembala kami itu pasti tidak mau ditandu, tapi terpaksa ia harus menerima cara pengungkapan kecintaan domba-dombanya terhadap sang gembala mereka yang telah dinanti selama 40 Tahun. Meskipun demikian aku yakin bahwa gembalaku tidak akan gembira duduk di atas kursi kebesaran sementara domba-dombanya berjalan sendiri sambil menandunya.

Perjalanan sekitar 5 km itu pun berakhir di ujung desa kelima yang kami lewati, dan ketika para penandu berbalik arah menuju lokasi gereja dan pastoran yang terletak di kilo meter 3, maka kecurigaanku benar karena sang gembala meminta kepada ketua panitia agar ia dibiarkan berjalan bersama domba-dombanya walaupun jalan berdebu dan panas terik.

Menyaksikan tindakan sang gembala untuk berjalan bersama domba-dombanya, umat mulai heboh dalam tarian mereka. Ya, bagiku inilah perbuatan kongkrit seruan sinode para Uskup, ” Berjalan bersama.” Mungkin para teolog dan orang pinrar masih berdiskusi dan berdebat tentang makna dari tema berjalan bersama di hotel dan gedung mewah, tapi hari ini kami umat Teor sudah mempraktekan bersama sang gembala kami bahwa berjalan bersama adalah sebuah kerelaan hati untuk meninggalkan ego masing-masing dan mulai berjalan pergi pulang bersama gembala kami sepanjang 10 km.

Kini kami menyadari ketika sang gembala berjalan bersama kami, maka tidak ada lagi kekecewaan, kemarahan dan kesedihan. Justru rasa sebaliknya yang terjadi yakni ada ketenangan, suka cita dan kebahagiaan karena berada di sisi sang gembala, yang rela tetap melangkahkan kakinya di antara tubuh domba-domba yang berbau akibat keringatan.

Menyaksikan tindakan dari seorang gembala yang rendah hati dan sederhana ini, tak terasa air mata kegembiraan mulai menetes di pipiku. Tiba-tiba seorang teman yang berjalan di sampingku menyapaku, ” kawan, mengapa engkau menangis di saat kegembiraan seperti ini?” Aku pun sadar bahwa ternyata ada yang memperhatikanku, maka aku pun menjawabnya, ” Aku pun tidak tahu, tapi rasanya hari ini aku harus menangis haru ketika menyaksikan tindakan kerendahan dan kerelaan hati seorang gembala seperti bapa Uskup Inno saat ini. Aku hanya berdoa semoga Tuhan memberinya kesehatan dan umur yang panjang agar generasi-generasi muda gereja di stasi ini bisa tahu dan bertemu kembali dengan bapa Uskup kita.”

Tak terasa kami pun telah tiba di lokasi tujuan. Aku mengambil jarak agak jauh sambil menatap langkah-langkah kaki sang gembala dengan pakaian kebesarannya menaiki tangga gereja dan pastoran.

Serpihan hati dari seorang domba liar di pulau Teor yang terpesona terhadap Sang Gembala yang berbau domba ( NN )