2Raj. 5:14-17; 2Tim. 2:8-13; Luk. 17:11-19
Minggu, 9 Oktober 2022
RD. Novly Masriat
Ketika dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem, Yesus bertemu sepuluh orang kusta. Para orang kusta ini datang menemui Yesus untuk meminta penyembuhan. Pada masa Yesus, orang-orang saat itu memandang bahwa orang kusta adalah orang “berdosa”. Masyarakat menghindari hidup dengan orang kusta, dan cenderung mengusir orang kusta. Yesus tidak langsung bertindak menyembuhkan para orang kusta ini, tetapi hanya mendorong mereka untuk memperlihatkan diri mereka pada imam-imam Yahudi. Ini gambaran tentang kekuatan sabda Tuhan. Sabda Yesus saja sudah mampu membawa kesembuhan, dan hanya orang yang dekat dengan Tuhan Allah yang bisa memiliki kekuatan ini. Itu berarti orang yang kurang atau tidak dekat dengan Tuhan sulit memiliki kewibawaan rohani yang menyembuhkan.
Saat dalam perjalanan, orang-orang kusta tersebut menjadi sembuh. Ketika menyadari kesembuhan ini, hanya satu orang yang kembali kepada Yesus. Orang itu adalah orang Samaria. Rupanya kesembilan orang kusta lain itu adalah orang Yahudi. Dalam tradisi Yahudi, orang-orang Samaria adalah orang-orang terbuang. Mereka membenci orang Samaria karena dianggap kafir. Namun justru orang Samaria inilah yang kembali kepada Yesus, memuji Tuhan karena kesembuhaannya. Kesembilan orang kusta yang lain tidak kembali kepada Yesus. Sikap orang Samaria ini menggambarkan orang yang tahu bersyukur. Di hadapan orang Yahudi, orang-orang Samaria adalah orang-orang kafir, tetapi justru orang-orang yang dicap “kafir” inilah yang tahu bersyukur kepada Tuhan. Bersyukur kepada Tuhan adalah sebuah ekspresi iman. Untuk itu, Yesus berkata kepada orang Samaria itu, “berdirilah dan pergilah imanmu telah menyelematkan engkau”.
Dengan demikian, ada dua yang hendak digarisbawahi yaitu tentang kewibawaan rohani yang menyembuhkan dan syukur kepada Tuhan. Pertama, tentang kewibaan rohani. Seorang pemimpin yang memiliki kewibawaan berarti pemimpin yang memiliki aura yang dapat mendorong dan membuat orang lain untuk lebih menghormati, menghargai, dan percaya kepada setiap kata dan nasehatnya. Sumber kewibawaan adalah kejujuran, keadilan, cinta kasih, pengampunan, disiplin, dan lain sebagainya. Yesus memiliki kewibawaan karena dia dekat dengan Allah Bapa, dan Roh Kudus. Paus Fransiskus (Vatican Radio, 2017-01-10) pernah menyebutkan dalam khotbahnya bahwa Yesus adalah seorang pemimpin yang memiliki kewibawaan dibandingkan dengan kaum farisi karena Yesus memiliki tiga karakter, pertama Jesus served the people while the doctors of the law considered themselves princes. Yesus hadir sebagai pelayan. Yesus hadir untuk melayani, bukan untuk dilayani. Banyak orang mendengar dan percaya kepada Yesus karena Yesus tidak menjadikan dirinya seperti “bos”dan “paling pintar” yang menuntut hormat. Kedua, characteristic of the authority of Jesus is closeness. Yesus berwibawa karena Yesus tidak alergi dengan orang lain. Dia dekat dan mau bergaul dengan siapa saja, maka orang mencintai-Nya. Ketiga, Jesus was coherent. Yesus memiliki kewibawaan karena Yesus buat apa yang Yesus ajarkan. Yesus tidak hanya berkata tetang kebaikan, tetapi Dia juga menunjukkan kebaikan dalam tindakan. Yesus tidak hanya mengajarkan tentang kebaikan tetapi Dia juga melaksakanannya. Yesus konsisten dengan kata-katanya. Kaum Farisi tidak berwibahwa karena apa yang mereka katakan berbeda dengan yang mereka katakan. Hal kedua yang hendak digarisbawahi adalah tentang belajar bersyukur. Banyak berkat yang patut kita syukur. Tidak ada alasan untuk tidak mau bersyukur. Tuhan menganugerahkan banyak berkat yang patut disyukuri. Memang, kita juga memiliki keterbatasan, kesusahan, kelemahan, kesedihan, tetapi masih banyak juga alasan untuk bersyukur. Banyak orang baik di sekitar kita, pekerjaan yang kita miliki, rejeki yang cukup, keluarga, nafas kehidupan, dan masih banyak hal lain yang patut disyukuri. Kadang kala kita lupa mensyukuri berbagai berkat yang Tuhan telah anugerahkan. Orang beriman yang tidak pernah bersyukur adalah orang yang “tidak tahu diri” dan lupa bahwa Tuhan menganugerahkan banyak rahmat dalam berbagai cara. Orang yang tidak tahu bersyukur adalah orang yang melihat hidup ini hanya sebagai jalan kesedihan dan pengeluhan semata. Paus Fransiskus dalam ensiklinya Gaudete et Exultate, berkata, “kita telah menerima begitu banyak dari Tuhan “untuk dinikmati”, sehingga kesusahan dapat menjadi tanda tiadanya rasa syukur (art. 126). Amin.