Beberapa waktu lalu, ada 4 imam MSC hendak merayakan 40 tahun hidup membiara. Mereka sepakat ada satu di antara mereka yang akan berkhotbah di hari puncak. Saat Ekaristi di hari puncak itu hendak dimulai, salah seorang imam di antara mereka mengatakan dalam pengantar misa: Kami berempat sebenarnya sepakat untuk menunjuk Pastor Pius Rettob berkhotbah hari ini. Tapi lihat, saat ini ia justru terbaring kaku di hadapan kita. Ia membisu. Ia tak berdaya dengan jasadnya. Sehari sebelum misa ini, ia telah lebih dulu dipanggil Tuhan. Tapi, ia justru mewarta, berkhotbah dengan keadaan berjasad seperti ini. Kematiannya pada pesta 40 tahun ini memberi pesan kuat bahwa kami berempat diminta untuk tetap setia sebagai seorang biarawan MSC sampai mati. Juga untuk kita semua yang hadir saat ini.
Beberapa hari lalu ada kabar kematian seorang suster. Ia mati sebagai seorang suster setelah bergumul dengan sakitnya. Penderitaan berkepanjangan ditanggungnya dalam hidup membiara. Kesendirian, rasa tak enak, sakit dan tak bisa beraktivitas secara bersama, ia tanggung bertahun-tahun dalam kesetiaan seorang biarawati. Ia tak mau lari apalagi keluar meninggalkan komunitas. Ia pun tak mau mengeluh. Ia mau hidup seperti biasa. Ia menerima diperhatikan bila teman-teman mempunyai waktu lowong saat ia sakit. Ia tak menuntut agar ada yang selalu mendampinginya. Dan akhirnya, ia mati bahagia. Mati sebagai seorang suster.
Albert Nolan, penulis buku terkenal “Yesus Kristus sebelum Kekristenan”, pernah menulis saat menjelaskan nubuat sengsara Tuhan Yesus. Ia katakan, “Tindakan selalu tampil melampaui kata-kata, tapi kematian yang dipilih Yesus justru jauh melampaui sekedar tindakan”. Ini adalah warta agung yang ditinggalkan Yesus, Sang Guru. Ia memilih mati bukan untuk membangkitkan dan melestarikan siklus kekerasan di tengah bangsaNya, tetapi untuk menyuburkan iman dan belas kasih sebagai ekspresi nyata ketaatan pada Allah BapaNya.
Selamat Jalan Suster Bernadetta R 🙏🙏🙏
…………
M. Taher