SPIRITUALITAS IMAMAT: PART #3

BELAJAR DARI REKAN IMAM

(OLEH: YOS PATRIS MSC)

Tak bisa dipungkiri bahwa spirtualitas imamat itu kontekstual dan riil. Maksud peryataan ini adalah setiap imam mempunyai penghayatan tersendiri akan imamatnya. Si imam tentu akan melihat seluruh pengalaman hariannya dan akan memberi isi atau bobot tertentu pada aktifitas meng-imam itu. Bila kita bisa belajar dari paus Fransiskus, berarti tak ada salahnya kita belajar dari rekan imam yang lain tetang bagaimana menghayati imamat itu. Oleh karena itu dalam tulisan ini, kami membagikan pengalaman seorang imam yang adalah kakak tingkat kami. Setelah diwawancara, ia menulis sebagai berikut.

Nama saya RP. Frits Ponomban MSC. Saya ditahbisan menjadi imam oleh Uskup Yosep Suwatan MSC di Seminari Tinggi Hati Kudus Pineleng pada tanggal 01 Juli 2017. Itu berarti usia imamat saya baru 1 tahun 3 bulan. Sekarang saya bertugas sebagai pastor rekan di Paroki “Spiritus Sancti” Gifu, Keuskupan Nagoya, Jepang. Sebagai pastor rekan, saya menjalankan beberapa tanggung jawab di antaranya misa harian di sebuah komunitas Suster Maria Tak Bercela. Juga kunjungan orang tua dan orang sakit dan kelas katekese bagi mereka yang ingin tahu lebih banyak tentang Gereja Katolik dan ajaran-ajarannya.

PENGALAMAN AKAN TUHAN SEBAGAI KEKUATAN
Saya memahami Spiritualitas Imamat sebagai hal-hal yang mendorong saya untuk tetap hidup dan tetap bersemangat sebagai seorang imam Katolik. Spiritualitas Imamat yang saya maksudkan di sini menjadi konkrit dalam hidup saya, dalam rupa “pengalaman akan Tuhan”. Saya punya pengalaman pribadi, di mana saya merasa bahwa Tuhan sungguh-sungguh ada dan memperhatikan serta mengasihi diri saya dan kita semua. Harus saya akui, ketika masa di seminari, apa yang saya sebut Spiritualitas Imamat ini hanyalah sebuah pengetahuan kognitif semata. Namun, karena hanya sekedar sebuah pengetahuan kongnitif, maka unsur “merasakan” dan unsur “mengalami” Allah hampir tidak ada. Saya bersyukur, bahwa sekarang saya pernah mengalami dan merasakan dalam pengalaman nyata bahwa Allah itu ada beserta kita.
Karena saya punya pengalaman akan Allah, mengalami dan merasakan Allah itu sungguh hadir dan mengasihi kita, dan saya sendiri merasakan bahwa pengalaman akan Allah ini sungguh menyemangati saya, maka saya pun ingin agar orang lain merasakan apa yang saya alami ini. Saya ingin agar orang lain juga mengalami Allah dalam hidup mereka. Saya kira, inilah yang menjadi kekuatan saya untuk menghidupi Spiritualitas Imamat itu. Sebagaimana Allah telah mengasihi saya, maka saya juga berusaha mengasihi sesama agar mereka juga merasakan kasih dari Allah itu lewat pikiran, perkataan dan perbuatan saya sehari-hari.

SIFAT MANUSIAWI DAN EMOSI SEBAGAI KELEMAHAN
Saya merasa kelemahan saya pribadi untuk menghidupi Spiritualitas Imamat itu adalah sifat manusiawi saya, yaitu keinginan untuk dinilai baik atau dipuji oleh orang lain. Ketika dianggap baik atau dipuji oleh orang lain, kadang kehilangan orientasi sehingga tanpa sadar yang saya wartakan adalah diri sendiri dan kelebihan-kelebihan saya, bukan Tuhan.
Selain itu suasana batin dan emosi juga cukup mempengaruhi saya dalam menghidupi Spiritualitas Imamat itu. Ketika sedang senang, saya akan semangat berkarya. Apabila sedang lesu atau tidak bersemangat kadang membuat saya menunda pekerjaan yang sebenarnya bisa saya lakukan. Misalnya, ketika sedang bersemangat, saya dengan senang hati pergi mengunjungi umat atau mempersiapkan khotbah hari Minggu. Tetapi kalau lagi tidak semangat, saya sering berkompromi dengan diri sendiri sambil berkata, “Ah, besok saja.”

RINDU MENGALAMI ALLAH SEBAGAI PELUANG
Pengalaman saya menunjukkan bahwa ada begitu banyak umat Allah, baik di tanah air maupun di Jepang yang rindu untuk mengalami Allah secara konkrit dalam hidup mereka. Bagi saya ini adalah peluang yang besar. Sebagai seorang imam, apalagi seorang MSC yang punya Spiritualitas Hati, saya merasa selalu punya peluang untuk membawa Hati Yesus yang Mahakudus itu; membawa kasih Allah bagi sesama lewat pikiran, perkataan dan perbuatan konkrit saya sehari-hari. Dengan sebuah harapan, ketika para umat merasakan bahwa imam mereka sungguh mengasihi mereka, mereka juga akan merasakan betapa Allah pun hadir dan mengasihi mereka.

BAHASA, BUDAYA JEPANG DAN RASA RINDU SEBAGAI TANTANGAN
Dalam konteks saya yang bekerja di Jepang, bahasa dan budaya yang belum cukup dipahami dengan baik sering menjadi tantangan. Karena kemampuan berbahasa Jepang yang masih pas-pasan, sering ada banyak hal yang tak bisa saya katakan dan jelaskan secara baik kepada umat di paroki. Faktor keterbatasan berbahasa memang menjadi penghalang sekaligus tantangan yang harus dihadapi. Terkadang itu semua membuat saya berpikir, “Ah, lebih baik saya pulang dan bekerja di Indonesia. Di sana saya bisa bekerja dengan lebih optimal”. Saya sering tergoda seperti ini. Namun tetap saja saya sadar, bahwa saya ditahbiskan untuk umat Allah dan mereka yang ada di sini juga adalah umat Allah. Kalau saya pergi, bukankah itu berarti saya meninggalkan umat Allah yang dipercayakan kepada saya.
Tantangan berikutnya adalah rasa rindu akan tanah air. Kerinduan untuk berjumpa dengan keluarga dan teman-teman di tanah air menjadi tantangan tersendiri. Kadang, ketika rasa ini muncul, tugas dan pelayanan kurang dilakukan dengan penuh semangat. Kendati demikian, saya bersyukur dengan kemajuan teknologi yang begitu pesat. Sekarang kita memiliki alat komunikasi yang canggih sehingga bisa menelpon kapan saja dan di mana saja. Komunikasi yang baik dengan keluarga dan teman-teman memberik kekuatan tersendiri. Saya merasa teman-teman angkatanlah yang sering menjadi penghibur dan pemberi semangat.