SANG GEMBALA, DALAM SEMANGAT “SANG PINTU” MENYAPA KAWANAN DOMBA DENGAN NAMA MASING-MASING ( CALLING BY NAME)

DAILY WORDS, SENIN, 9 JUNI 2022
PEKAN PASKAH IV
BY RP. PIUS LAWE, SVD

BACAAN I : KIS 11: 1 -18
MAZMUR : MZM 42: 2-3.;43: 3,4
INJUL : YOH 10: 1 – 10

@ Umat, Para Imam, Biarawan/i berdatangan dari berbagai pelosok tanah air bahkan dari luar negeri untuk menghadiri perhelatan akhbar di Tanah El Bulil atau di Kampung (Ohoi) Waur, kampung yang telah melahirkan banyak imam dan biarawan/i. Sejak upacara penjemputan Uskup Amboina yang baru di bandara Karel Satsuitubun Langgur, Kei Kecil dan di Pelabuhan Laut Elat, Kei Besar menuju tanah kelahiran & sekaligus paroki asal Mgr. Seno Ngutra, umat berjubel berarak dan bersukacita mengarak-arak dalam kegembiraan yang meluap-luap Sang Gembala barunya. Tiga Perayaan Ekaristi akhbar telah usai (Misa Syukur Wilayah Kei Besar, Misa Syukur Paroki Hati Kudus Waur dan Misa Syukur bersama Keluarga Mgr. Seno Ngutra). Warnanya tetap sama: umat berjubel menghadiri perayaan-perayaan ini. Mereka hadir dalam antusiasme yang dapat saya bahasakan dengan bahasa Pemazmur hari ini: seperti rusa merindukan sungai yang berair demikianlah jiwaku meeindukan Engkau, ya Allah…”

@ Terlepas dari motivasi yang lain dalam kehadiran mereka, saya simpulkan ekspresi kehadiran dan keaktifan umat hari-hari ini sebagai sebuah KERINDUAN YANG MENDALAM akan SOSOK GEMBALA yang bakal masuk melalui PINTU (Kristus Yesus) untuk menjumpai kawanan dombanya. Sebagaimana yang telah mereka alami dalam diri Mgr. P.C Mandagi, MSC sebagai sosok gembala kharismatik yang telah masuk dan menjumpai umatnya selama 27 tahun dalam caranya yang uniq dan melalui PINTU (membiaskan nilai2 dasariah Kristus), jubelan dan antusiasme umat dan masyarakat bahkan antusiasme dan dukungan pimpinan sipil/pemerintahan ini mencerminkan sebuah keyakinan bahwa sosok gembala yang baru ini pun akan atau sedang masuk ke dalam kandang melalui PINTU (baca: cara Kristus) juga.

@ Denyut nafas perayaan hari-hari ini coba saya kaitkan dengan pesan bacaan pertama (kisah pengalaman penglihatan Rasul Petrus di kota Yope). Penglihatan Petrus mengisyaratkan UNIVERSALITAS KESELAMATAN. Tidak ada kekhususan, atau pribadi, atau kelompok budaya atau etnik, atau golongan, di mata Allah. Dalam penglihatan Petrus, Allah mwnegaskan: “… apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram…” Keselamatan bukan hanya untuk orang bersunat. Dengan kata lain, jangan sunatkan semua orang hanya untuk mendapatkan keselamatan. Rayakan keselmatan dari dan oleh Allah dengan atau dalam dan melalui konteks umat setempat. Karena ditegaskan dalam kisah Petrus ini, jika “…kepada bangsa-bangsa lain pun Allah mengaruniakan pertobatan yang memimpin kepada hidup…” Artinya Allah menyapa kita BY OUR NAMES. Dia memanggil kita dalam nama dan konteks kita yang unique sesuai dengan budaya kita masing-masing.

@ Senada dengan pesan ini, saya dapat mengartikannya bahwa gembala (Bapa Uskup) masuk melalui PINTU (nilai dan semangat Kristus) dan menyapa umat dalam dan sesuai konteksnya: KEI, TANIMBAR, KISAR, MOA, LETI, TEPA, SERAM, BURU, KEP ARU, KEP LEASE, FLORES, TORAJA, JAWA, TERNATE, HALMAHERA, OBI, BACAN, TALIABU, FALA, dst…. Sebaliknya, domba-domba yang telah disapa atau are called by name, mengangkat hati kepada Allah dalam cara atau KONTEKS LOKAL ( rasa musik, bahasa dan tarian liturgis)..Nuansa ini saya sudah alami sejak dari permulaan sapaan awal di bandara Satsuitubun setelah landing di tanah Evav, juga di pelabuhan laut Elat dan di tanah El Bulil saat masuk di dalam Ohoi Waur- tepatnya di tengah kampung tempat kelahiran Mgr. Seno Ngutra. Bahkan hal ini sangat terasa saat tarian-tarian mengiringi persembahan, lagu-lagu ordinarium misa syukur paroki dan keluarga dan beberapa lagu liturgis dalam bahasa Aru dan atraksi-atraksi dalam acara seremonial. Melodi dan rithme bernuasa etnis lokal ini seolah mengajak Mgr. Seno Ngutra untuk masuk melalui PINTU (Sang Kristus) untuk menyapa kawanan domba dalam budaya dan rasa (taste) lokal.

@ Hal yang saya dapat petik dari goresan refleksi di atas adalah bagaimana sebagai imam, saya berusaha untuk masuk ke dalam situasi umat/kawan domba dengan membawa nilai-nilai cinta kasih Kristus (terj. MELALUI PINTU) dan menyapa mereka dengan nama khas-nya (baca: sesuaikan diri dengan budaya dan bahkan bahasa lokal-nya). Bagaimana saya sebagai imam misionaris, dapat masuk dan mwngajak umat untuk mwmuliakan Allah dalam cara atau dalam konteks budaya lokal. Memang ini bukan sebuah proses yang mudah. Namun saya harus sudah mulai, dan starting point-nya adalah dwngan mwmberi APRESIASI swcara selektif setiap ekspresi liturgi yang dibawakan dalam bahasa dan budaya lokal (kontekstual).

@ Mari kita saling mendoakan, agar nama Allah (Yang Maha Tinggi/Tete Manis) dipuji dan disembah dalam cara yang lebih AKRAB dengan RASA SETEMPAT sambil tetap mwmpertahankan prinsip-prinsip liturgi Gereja Katolik. Doamu kupinta agar saya dapat menyapa umat dalam dan melalui sapaan yang AKRAB di telinga mereka (baca: budaya-nya). Dengan ini, saya yakin, mereka akan tetap merindukan Allah seperti rusa merindukan air….

My warm greetings from Tanah El Bulil – Ohoi Waur, Kei Besar….Good night and God bless you all🙏🙏🙏🙏🙏