GEREJA KECIL BANDA NEIRA BANGKIT KEMBALI

Sepenggal Kisah dari Domba-Domba Kecil di Banda Neira

“Gedung kami dihancurkan dan dibakar, tapi puing-puingnya telah menjadi pupuk bagi iman kekatolikan kami di pulau kecil ini.”

Setelah bertahun-tahun lamanya Stasi Banda Neira hanya menjadi tempat persinggahan para pastor yang melintas dengan kapal atau melawat dari paroki Katedral dan patoki St. Ignasius Laha, Ambon untuk melayani maka sekitar tahun 1995 dibangunlah sebuah gereja sebagai tempat beribadat bagi umat kecil ini.

Malang nasibnya gereja kecil ini karena sewaktu terjadi kerusuhan kemanusiaan yang melanda Maluku tahun 1999 – 2004, gereja itu pun dibakar dan dihancurkan berkeping-keping. Dan sejak saat itu, kumpulan umat kecil ini tercerai berai meninggalkan kota Banda Neira.

Waktu pun bergilir terus, dan setelah dirasa aman dan nyaman maka kembalilah beberapa keluarga Tionghoa ke kota Banda Neira untuk membangun usaha dan bisnis mereka. Dilaporkan oleh Romo paroki bahwa ada 3 keluarga Katolik yang menetap di sini dengan jumlah 5 jiwa. Kemudian datang silih berganti beberapa pegawai dari berbagai intansi sipil dan militer yang sekarang menetap di Banda Neira dengan jumlah sekitar 17 jiwa. Karena jumlah yang kecil ini maka mereka tidak mampu membangun kembali sebuah gereja sebagai tempat beribadat. Bila dikunjungi oleh Romo dari Ambon, maka misa hanya bisa dirayakan di rumah keluarga tertentu.

Belasan tahun kemudian, maka sejak tahun lalu Romo Paroki, RD. Paul Kalkoy, yang dibantu penuh oleh keluarga Rambitan di Ambon, akhirnya sebuah gereja kecil mungil dibangun kembali beserta dengan rumah pastoran dua kamar yang asri dan nyaman untuk ditempati.

Menurut cerita Romo paroki, walaupun hidup di tengah mayoritas Muslim tapi iman kekatolikan tetap terpatri kuat di dalam hati umat kecil ini. Bahkan seorang ibu dari kawanan kecil ini berujar, “apa pun tantangan dan ancaman yang kuterima, tapi sekali Katolik tetap Katolik.” Maka benarlah bahwa puing-puing kehancuran gedung gereja lama telah menjadi pupuk bagi iman domba-domba kecil ini sampai saat ini.

Sta. Lidya dipakai sebagai nama pelindung gereja kecil di Banda Neira ini. Nama ini bukan sekedar hanya untuk menghormati ibu keluarga penyumbang yang kebetulan bernama Lidya, tapi mendapatkan inspirasi dari tokoh wanita terkenal dalam Kisah Para Rasul, Lidya, seorang penjual kain ungu dari kota Tiatira, yang tidak hanya setia mendengarkan pengajaran Rasul Paulus, tetapi juga memberi tumpangan dan membantunya dalam karya pewartaan Rasul Paulus. ( Bdk. Kis. 16 : 13 – 18 )

Sebentar sore gereja Sta. Lidya ini akan diberkati dalam Misa kudus. Semoga umat kecil ini semakin diteguhkan imannya karena Tuhan telah, sedang dan akan tetap tinggal di tengah-tengah mereka dengan adanya gereja kecil yang mungil ini.

Terima kasih kepada semua pihak terutama keluarga Rambitan dan semua pihak yang telah memungkinkan selesainya pembangunan gereja Sta. Lidya di Banda Neira ini. Percayalah bahwa “ketika Anda mau membangun rumah untuk Tuhan di dunia ini maka Ia pasti akan menyediakan kamar bagimu di surga.”

Dari Kota Banda Neira, terimalah salam dan berkatku ( Mgr. Inno Ngutra : Minnong – Duc in Altum )