Para sahabat, mari kita membantu Romo Erol untuk bisa membangun sebuah asrama sederhana demi bocah-bocah Taliabu yang mau bersekolah demi masa depan yang lebih baik.
“Dibuang Sayang dari Kunjungan Kanonik Mgr. Inno di Pulau Taliabu, Maluku Utara”
Ikuti kisah inspiratif Romo Erol yang memperjuangkan sebuah asrama untuk anak-anak di pulau Taliabu
Wajah-wajah polos itu ingin bersekolah tapi harus berjalan kaki puluhan kilometer dan berenang menyebrang sungai demi menggapai sekolah mereka.
Menyaksikan perjuangan wajah-wajah polos ini, aku tak bisa tidur tenang. Aku berniat memberi kesempatan kepada wajah-wajah polos itu untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Namun, apa dayaku karena aku hanyalah seorang Romo muda yang dipercaya oleh Uskupku menyebrang laut dan sungai, melintasi hutan belantara demi domba-domba kecil dan wajah-wajah polos di pulau Taliabu yang luas tapi masih sangat sulit semua sarana prasarana itu.
Sejak ditunjuk menjadi pastor paroki Taliabu 2 tahun lalu, aku telah mengunjungi, tinggal bersama domba-domba kecil nan polis itu dan mengenal dengan baik umat parokiku yang tersebar di 20 stasi. Dan bagiku hanya ada satu kesimpulan yakni umat akan berkembang jika mendapat pendidikan yang layak.
Fakta bahwa banyak anak asli Taliabu yang kurang mendapat pendidikan, orang tua mereka jual tanah dengan sangat-sangat murah untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehingga mereke sendiri malah tinggal “terasing” di tanah mereka sendiri. Belum lagi ada orang tua yang tidak ingin anak perempuan mereka sekolah terlalu tinggi, karena anak perempuan adalah sumber uang. Jika sudah tiba saatnya, anak perempuan akan mendatangkan harta berupa uang dalam bentuk ” mas kawin”. Besarannyapun berbeda-beda; dari harga 30 sampai 60 juta. Maka ada yang beranggapan bahwa perempuan adalah “lumbung uang” bagi orang tua. Semua ini terjadi karena banyak orang tua tidak mengenyam pendidikan yang layak.
Itu baru fakta dari orang tua. Belum keadaan rill anak-anak di kabupaten ini. Anak-anak yang tamat SD atau SMP misalnya harus jalan kaki berkilo-kilo meter, ada juga yang jika pergi ke sekolah bertepatan dengan air pasang, maka harus menyebrangi sungai dan kadang harus berenang. Jadi dari rumah pakaian sekolah di bungkus, nanti saat di hutan dekat sekolah barulah mereka mengenakan seragam sekolah. Tak heran banyak anak Katolik yang putus sekolah bukan karena malas, tapi medan yang cukup sulit.
Fakta-fakta ini membuat sehingga dalam rakerpar diputuskan bahwa apapun yg terjadi kita harus selamatkan anak-anak di medan yang sulit dengan menyekolahkan mereka di pusat paroki. Anak-anak dan orang tua di stasi juga mendesak bahwa pastor harus didik anak-anak kami di pusat paroki. Tapi aku kemudian sedikit khawatir karena mereka akan tinggal dimana, makan apa, dan bagaimana mereka harus pergi ke sekolah berhubung tidak ada sekolah Katolik dan sekolah negeri pun jauh jaraknya.
Aku kemudian menghubungi Yang Mulia Bapa Uskup Inno dan mengutarakn maksud dan keadan parokimu khususnya anak-anak tersebut. Bapa uskup dengan cepat merespon “bagus itu, terima mereka saja di pastoran, dan yakin bahwa Tuhan pasti menolong niat baikmu.” Kata-kata yang sungguh meneguhkan dari seorang Bapa untuk imamnya yang bekerja di paroki pinggiran.
Karena itu, sejak juli 2024 saya menyatakan bersedia menampung mereka di pastoran, jumlah mereka sudah 8 anak.
Hal yang membuatku sedih sampai mencucurkan air mata adalah niat dari anak-anak ini untuk bersekolah. Karena ketika mereka mendengar berita bahwa pastor bersedia menerima mereka di pastoran, ada yg jalan kaki seharian, dari stasi Fango ke Bobong, pusat paroki. Meskipun hujan, jalannya becek namun dia dan bapanya harus berenang melewati air sungai untuk mencapai pusat paroki.
Selamat bersekolah anak-anakku. Semoga niat dan cita-cita kalian akan direstui oleh Yang Tuhan Maha Kuasa.
Salam dari Taliabu
Romo Erol.
Nantikan kisah inspiratif selanjutnya
Salam, doa dan berkatku untukmu ( Mgr. INNO NGUTRA: Minnong – Duc In Altum )