Dibuang Sayang dari Kunjungan Kanonik di Pulau Morotai ( Seri – 2 )
Setelah kematian suamiku, aku telah didesak bukan hanya pulang ke kampung halamanku, tapi juga kembali ke gereja asalku Protestan. Namun hatiku tidak goyah dengan semua bujukan dan rayuan itu, karena cinta akan Gereja Katolik ini bukan hanya telah mengikat erat hatiku, tapi telah menjadi nafas hidupku. Maka aku memutuskan untuk tetap bertahan di stasi ini apalagi karena kepercayaan yang diberikan kepadaku sebagai Ketua Stasi untuk 5 KK dengan jumlah 25 jiwa. Tekadku cuma satu yakni menjaga dan mengamankan tanah ini sampai saat Gereja tidak lagi membutuhkanku.
Menjadi Ketua Stasi Sakita bukan karena pengetahuan, tapi karena sebutir pengalaman kebersamaan sebagai orang Katolik selama suamiku ( yang memang asli Katolik ) hidup telah membuatku berani untuk menerima tugas mulia ini dari para pastor yang bertugas di Morotai. Tugas ini kujalani dengan sukacita karena keyakinanku bahwa Yesus sendirilah yang akan menuntunku.
Penantian dan kerinduan domba-domba kecil yang kupimpin ini untuk bertemu dengan sang Gembala Utama tidak pernah terealisir selama ini. Maka ketika mendengar bahwa Sang Gembala akan singgah di stasi kami untuk memberkati rumah pastoran yang dibangun oleh Pemda Morotai semakin meneguhkan keyakinanku bahwa Tuhan Yesus tak pernah meninggalkan kami sendirian.
Sore itu ketika kudengar bunyi klakson kendaraan, hatiku mulai diliputi sukacita dan haru karena Sang Gembala akhirnya datang menemui kami domba-dombanya di kandang tempat kami berteduh. Acara penyambutan pun berlalu, dan kini kami memasuki gedung gereja yang sudah termakan usia ini untuk menerima berkat dari Sang Gembala.
Setelah itu, aku pun menghampiri Sang Gembala dan meminta kiranya moment kebersamaan ini diabadikan. Wouw… hatiku sekali lagi bersukacita dalam keharuan karena penantianku seperti Hana yang menanti Penyelamat di Bait Allah akhirnya terpenuhi di hari yang indah ini. Sang Gembala datang menjumpai kami.
Aku pun berbisik di telinga Sang Gembala: “Bapa, ketika berkunjung lagi ke Morotai, jangan lupa datang mengunjungi kami, domba-domba kecilmu yang ada di kandang ini, ya?”
Waktu telah menunjukkan pukul 16.00 saat Sang Gembala harus meneruskan perjalanan meninggalkan kami, namun kenangan akan kehadirannya tetap diingat oleh domba-domba kecilnya sebagai moment terindah dalam hidup sebagai orang Katolik karena bisa berjumpa dengan Sang Gembala kami.
Aku hanya berharap semoga Sang Gembala dan semua yang membaca kisahku ini mau meluangkan waktu sejenak untuk mendoakan kami domba-domba kecil di bagian Utara pulau Morotai.
Ditulis kembali oleh: Mgr. INNO NGUTRA : Minnong – Duc In Altum )