“Menenun Toleransi Versi Sang Monsinyur”

Catatan: Agustinus Rahanwarat

Sejak diangkat takhta suci Vatikan menjadi Uskup Amboina, monsinyur Inno giat berkeliling di seluruh wilayah keuskupan yang meliputi 2 provinsi; Maluku dan Maluku Utara.

Monsinyur menggembala hingga ke dusun-dusun terpencil. Beberapa media bahkan menyorot kehadirannya di tempat yang belum terkoneksi, misalnya jalan dan jembatan, jaringan telepon termasuk akses internet. Monsinyur Inno pun datang ke Tanimbar, walau sudah beberapa kali semenjak menjadi Uskup namun kali ini monsinyur menginjakan kakinya di pulau Selaru.

Hal baru yang menakjubkan karena monsinyur ingin memastikan ada kawanan gembalanya yang berdiam di 2 desa besar di pulau Selaru, yakni Adaut dan Lingat yang jumlahnya sangat sedikit. Bukan sekedar jalan-jalan, tongkat kegembalaannya yang telah terpaut di Selaru akan menjadi sejarah untuk dikenang karena memang belum ada Uskup yang ke pulau Selaru sejak agama Katolik masuk di Kepulauan Tanimbar tahun 1910.

Momen misa pertama imam baru RD. Yakobus Larat yang lahir dan besar di Adaut menjadi perhatian monsinyur untuk berjumpa dengan semua orang yang akan menerimanya di Selaru. Keputusan datang di pulau Selaru tentu telah dipikirkan masak-masak. Perlu seribu nyali supaya kehadiran monsinyur bisa diterima semua kalangan. Tentu tak mudah. Inilah keberanian monsinyur menenun toleransi di Tanimbar termasuk di pulau Selaru yang salah satunya mendekatkan komunikasi dengan semua pihak di sana, mempertegas keimanan akan Kristus untuk menjadikan kita semua sebagai pembawa terang dari Kristus entah sebagai anggota gereja Protestan (Dan gereja denominasi) maupun gereja Katolik.

Maka patut dinyatakan bahwa mental sang monsinyur tak beda dengan mental para misionaris yang tertembak tentara Jepang pada 30 Juli 1942 di tanah evav di bumi larwul-ngabal.

Penggembalaan monsinyur harus menjadi suri-teladan bagi semua pewarta firman, berani karena siap mati demi Kristus, seperti seruan ‘Untuk Kristus Raja Kita; Jadilah!’

~ ARs