DAILY WORDS, SENIN, 13 MARET 2023
PEKAN III PRAPASKAH
BACAAN I : II RAJ 5: 1–15a
MAZMUR : MZM 42: 2. 3; 43: 3 – 4
INJIL : LUK 4 : 24 – 30
(by RP. PIUS LAWE, SVD)
@ Ini sebuah cerita lama! Primordialisme! Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), primordialisme adalah suatu sikap memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik tradisi, adat istiadat, kepercayaan, dan segala sesuatu yang ada di lingkungan. Primordialisme sudah tentu lebih tampak dalam masyarakat plural yang senantiasa menampakkan perbedaan-perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Sesuatu yang khas adalah merupakan identitas dari kelompok bersangkutan. Kekhasan inilah yang mengikat semua anggota kelompok. Atau dengan kata lain, setiap anggota menjadi begitu loyal terhadap apa saja yang menjadi identitas kelompoknya. Umumnya, identitias yang mengikat suatu kelompok selalu berhubungan dengan nilai-nilai dan system keyakinan yang dihidupi dan yang mengikat semua anggotanya. Ditilik dari artinya, primordialisme masih membawa nuansa positive. Namun ketika nilai-nilai atau system keyakinan dihidupi secara ekstrem dan berimbas pada upaya merendahkan kelompok yang lain, primordialisme menjadi sangat konotatif (bermakna negative). Hal ini yang akhirnya menggiring kita untuk mendiskreditkan seseorang atau sekelompok orang dengan klaim: SANGAT PRIMORDIAL! Artinya, terlalu melihat orang atau kelompok dengan label-label semisal suku, agama, keyakinan, status ekonomi, partai politik, warna kulit, model rambut, bentuk dan ukuran tubuh, dst.
@ Menjadi sesuatu yang miris ketika di dalam negara yang dikenal dengan prinsip nasionalnya BHINEKA TUNGGAL IKA, orang menjadi sangat picik karena begitu membanggakan suku atau agamanya sendiri sebagai yang terbaik: suku Jawa lebih baik; suku Dayak lebih hebat; suku Batak apalagi; orang Islam atau Kristen lebih baik; orang Kei lebih baik dari orang Tanimbar atau sebaliknya orang Tanimbar lebih baik dari orang Kei; orang Flores identic dengan ini atau itu, dst. Atau misalnya dalam hal warna kulit dan jenis rambut. Terkadang orang terbawa untuk hal-hal yang remeh temeh ini dan menjadikannya ukuran kualitas seorang anak manusia atau kualitas sekelompok orang. Miris! Saya sangat bersyukur kepada Tuhan karena selama ini, saya sudah berjumpa dan mengalami kebaikan Tuhan dalam diri orang-orang yang tidak memandang dari mana saya berasal, baik suku, agama, warna kulit, status social, jenis rambut, dll. Mereka sungguh menjadi orang-orang yang menghidupi cinta kasih Tuhan dengan tulus dan jujur.
@ Cerita dalam kitab II Raj 5: 1 – 15 adalah sebuah cerita tentang ketegangan antara cinta kasih dan rasa primordialisme. Raja Aram sih baik-baik saja. Tidak picik! Tidak fanatic suku atau dengan kata lain tidak sukuis. Dia tidak terkungkung dengan fanatisme suku dan bangsa-nya. Dia terbuka terhadap kerja-nya rahmat Allah yang melampaui rasa kesukuan. Sungguh, tanpa basa basi, raja Aram menulis surat kepada raja Israel supaya membiarkan kepala pasukannya yang bernama Naaman yang menderita sakit kusta, berjumpa dengan abdi Allah yang adalah seorang berbangsa Yahudi dari kerajaan Israel. Raja Aram menunjukkan satu sikap yang sportive and “merangkul” sebagai seorang pemimpin yang baik. Sebaliknya, raja Israel justru merasa ragu dengan apa yang dipercayakan oleh raja Aram kepadanya. Dia merasa tidak layak tetapi juga mempunyai iman yang kurang sehingga begitu mudah terperangkap di dalam rasa kesukuan/primordialismenya. Akhirnya, kuasa Allah menaklukan rasa primordialisme sang Raja Israel. Nabi Elisa yang adalah abdi Allah menunjukkan kuasa Allah dengan menaklukkan bukan saja penyakit kusta itu sendiri tetapi juga menaklukkan rasa kesukuan atau primordialisme yang ada di dalam diri raja Israel dan mungkin juga dalam diri Naaman itu sendiri sebelum dia menjadi tahir. Terbukti, Tuhan bukan hanya untuk orang Israel atau orang Yahudi. Tuhan datang untuk semua orang tanpa mengenal suku tertentu.
@ Rasa primordialisme yang kuat di dalam diri orang Yahudi di kampung Nazaret juga berpengaruh terhadap bagaimana mereka menerima Yesus sebagai utusan Allah, apalagi sebagai Putera Allah. Memangnya kamu siapa? Mungkin pertanyaan itu keluar dari mulut atau pikiran mereka ketika melihat atau mendengar kesaksian Yesus tentang siapa diri-Nya. Bagi mereka, Yesus kan cuma seorang anak tukang kayu dari Nazaret! Yesus kan orang biasa seperti mereka yang lain. Apa yang lebih dari Dia sehingga berani meng-klaim diri-Nya sebagai seorang Utusan Allah. Yesus mengkritik rasa primordialisme orang-orang Israel atau orang Yahudi. Yesus mendobrak rasa superioritas mereka terhadap suku, bangsa atau agama lain yang ada di wilayah itu. Yesus bahkan menantang mereka dengan menceritakan pengalaman masa Perjanjian Lama, di dalamnya Allah menunjukkan kasih-Nya bukan hanya kepada orang Israel saja, melainkan kepada bangsa-bangsa lain yang memilki iman yang sama.
@ Di dalam masa yang kudus ini, mari kita belajar bersama untuk lebih terbuka pada rahmat Allah, dan percaya bahwa kebaikan Allah dan keselamatan yang dibawa oleh Putera-Nya Yesus adalah untuk segala bangsa dan untuk semua orang yang beriman kepada-Nya tanpa mendiskreditkan mereka yang berbeda dari kita. Ingat apa yang ditekankan di dalam Konsili Vatikan II, khususnya di dalam Nostra Aetate artikel 2: Gereja mengakui bahwa di dalam agama-agama non Kristen ada yang benar dan suci yang bermanfaat bagi agama itu sendiri namun juga bisa memantulkan cahaya kebenaran itu kepada sesame kaum agama lainnya. Dalam semangat ini, mari kita perangi rasa primordialisme yang ekstream. Mari kita rubuhkan sekat-sekat primordialisme yang sedang tumbuh di dalam Gereja Katolik yang kudus, bahkan yang tumbuh di dalam para pemimpin dan anggota-anggotanya. Have a blessed day filled with love and forgiveness. Warm greetings from Soverdi – Surabaya..salve..salve…salve…🙏🙏🙏🫰🏿🫰🏿🫰🏿😇😇😇