Ul. 6:2-6; Ibr. 7:23-28; Mrk. 12:28b-34/HM Biasa XXXI
Minggu, 3 November 2024
Terdapat beberapa keutamaan yang penting bagi kehidupan manusia, yaitu seperti kebijaksanaan, keberanian, keadilan, dan pengendalian diri. Dalam perspektif iman kristiani, terdapat tiga keutamaan yaitu iman, harap, dan kasih. Keutamaan-keutamaan ini mengantur hubungan antar manusia dan antara manusia dengan Allah. Seorang kritiani dituntut untuk memiliki keyakinan dan pengharapan akan Allah. Selain itu, seorang kristiani dipanggil untuk juga mencintai Allah dan sesama. Secara kristiani, tiga keutamaan ini menjadi sumber bagi keutamaan-keutamaan lain.
Dari tiga keutamaan kristiani di atas, kasih adalah keutamaan yang paling besar. Rasul Paulus berkata, “demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih” (1Kor. 13:3). Mengapa kasih lebih besar daripada yang lain. Tiga keutamaan ini sama-sama penting. Namun, iman dan harapan itu dengan sendirnya akan hilang ketika kita bertemu langsung dengan Tuhan. Kita tidak lagi memerlukan iman dan harapan ketika kita sudah bersama dengan Tuhan. Keutamaan yang akan tetap tinggal dan hudup adalah kasih. Cinta kasih akan tetap hidup, entah sebelum bertemu Tuhan dan sesudah bertemu dengan Tuhan. Cinta itu abadi.
Yesus hari ini menegaskan tentang pentingnya cinta kasih di atas segalanya. Ketika Yesus ditanya tentang hukum utama dan terutama, Dia berkata, “hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu; dan hukum yang kedua ialah: kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini” (Mrk. 12:29-31). Pernyataan Yesus ini menegaskan bahwa cinta kasih menjadi landasan untama berbagai norma dan aturan. Cinta kasih ini terarah kepada Tuhan dan kepada sesama. Dua arah cinta ini harus berjalan bersama-sama. Kita tidak bisa menyebutkan bahwa kita mencintai Tuhan saja atau mencintai sesama saja. Keduanya harus berjalan seimbang. Paus Benediktus XVI, dalam ensiklik Deus Caritas Est berkata, “Bila sentuhan dengan Allah sama sekali tak ada dalam hatiku, maka dalam orang lain aku selalu hanya dapat melihat orang lain dan tak dapat mengenal gambaran ilahi dalam dirinya. Bila aku menyingkirkan perhatian kepada sesama dari hidupku sama sekali dan hanya mau “saleh”, melakukan “kewajiban-kewajiban religius-ku” maka juga hubungan dengan Allah mengering. Maka ia hanya “benar”, tetapi tanpa kasih (Art, 18). Pernyatan Paus ini menyatakan bahwa cinta kepada Allah tanpa cinta terhadap sesama tanpa iman atau cinta kepada Tuhan maka cinta itu kering. Kita hanya menjadi roang saleh tanpa kasih. Sebaliknya jika kita mencintai sesama tanpa mencintai Tuhan maka kita tidak akan mampu mengenal gambaran ilahi dalam diri sesama.
Titik total cinta kasih ada pada hati. Yesus menempatkan hati sebagai tahap pertama untuk mengasihi. Yesus katakan, kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hati (bdk. Mrk. 12:30). Paus Fransiksus, dalam ensikiliknya yang terbaru, Dilexit Nos, mengajak kita untuk bertitik tolak dari hati karena hanya hati yang menciptakan keintiman, kedekatan sejati antara dua orang. Hanya hati yang mampu menyambut dan menawarkan keramahan”. Hati yang mengantar kita untuk mengenal kebaikan. Hati menjadi tempat tinggal kasih yang memerintahkan hati kita untuk melakukan yang baik. Hati yang mampu melalukan cinta kasih adalah hati yang bersatu dengan hati Kudus Yesus. Amin.#novlymasriat#.