Oleh: RP. Jemy Balubun, MSC
Elizabeth wanita penuh aib. Dia tidak bisa berketurunan, ia mandul. Dalam tradisi Yahudi, memiliki anak, terutama anak laki-laki, dianggap sebagai berkat besar dari Tuhan. Anak laki-laki dianggap sebagai penerus garis keturunan dan pewaris warisan keluarga. Oleh karena itu, wanita yang tidak dapat melahirkan anak seringkali dipandang sebagai aib atau kutukan. Elizabeth teralienasi. Ia dengan sendirinya menghadapi tekanan sosial yang besar, baik dari keluarga maupun masyarakat.
Akan tetapi pengalaman tidak menyenangkan itu berubah ketika rencana penyelamatan Allah harus terjadi melalui rahimnya yang mandul itu. “Sesungguhnya ketika salammu sampai di telingaku anak di dalam rahimku melonjak kegirangan”. Raut batin yang bertahun tahun tertekan berubah menjadi suka cita yang besar. Sekian tahun mengandung cibiran dan olok olokan tetangga, kini mengandung sang penunjuk jalan. Ada harapan baru.
Kisah hidup Kita tidak mulus mulus saja. Kita tahu banyak orang yang tertekan hidupnya bahkan mungkin kita sendiri. Ada orang yg gelisah, tidak happy. Krisis rumah tangga dan keluarga. Problem ekonomi dan keuangan. Konflik dan krisis relasi. Orang terjerembab dalam nista dan aib. Seribu wajah yang menghakimi.
Pada titik ini, di manakah kita harus berdiri? Ajaran Kristiani yang sejati memberi ruang bagi kita untuk menjadi agen pengharapan. Maria mengunjungi Elizabeth saudarinya adalah kunjungan pengharapan. Sapaan, kata kata, tatapan mata, pelukan kasih adalah cara memberikan pengharapan. “Aku mengagungkan Tuhan, hatiku bersuka ria karena Allah penyelamatku. Sebab Ia memperhatikan hambaNya yang Hina ini”
Kita perlu berucap “ayo mari bangkit, mata Tuhan tertuju kepada kita dengan kasih yang sempurna”.
Jules Chevalier pernah mengatakan jika ada orang yang datang kepadamu dengan penuh hina, kamu cukup mengatakan kepadanya Allah mengasihimu. Chevalier dengan kata lain mengatakan kehinaan tak pernah ada di mata Allah.
Menjadi apa anak ini?
Suka cita Elizabeth belum selesai karena orang orang sudah menyodorkan pertanyaan ini “menjadi apakah anak ini nanti”?
Pertanyaan dalam Injil hari ini sarat makna. kita diajak untuk merenungkan tujuan hidup, peran kita sebagai orang tua, dan harapan kita bagi masa depan anak-anak kita. Sudah barang tentu setiap orang tua berkendak mendidik anak-anak agar menjadi generasi penerus yang berkualitas dan bermartabat.
Pertanyaan yang sama kepada kita para pelayan gereja. Menjadi apakah kita saat ini dan nanti? Menjadi pelayan atau tuan? Menjadi pendengar atau pembicara? Menjadi pendoa atau pendosa? Menjadi penanggap yang cepat atau slow response? Mengendepankan kolaborasi, komunikasi atau urus dan kerja sendiri? Menghembuskan kebajikan atau turut serta bergosip? Menjadi pendamai atau ikut serta merusak dari dalam?
Menjadi apakah anak ini nanti? Jawabnya adalah “supaya Dia semakin besar dan aku semakin kecil”. Martabat Agung sang pelayan.
Selamat menyambut Pesta Natal.