Tulisan 11 Tahun lalu
Tulisan Berserakan:
Melihat foto ulang tahun Bapa Uskup Cornelius Piong, Uskup Keuskupan Keningau, Sabah – Malaysia, yang diposting oleh teman kelasku di Fakultas Canon Law, UST Manila-Filipina, Fr. Rudolp Joanes, aku langsung teringat akan pengalaman bersama Uskup yang sangat sederhana dan selalu hadir di tengah umatnya sebagai seorang bapak, gembal dan sahabat ini. Kesan ini terjadi ketika untuk beberapa kesempatan Natal dan Paskah di tahun 2010-2012 saya dimintah oleh teman Father Rudolp untuk membantu melayani di keuskupannya.
Bertemu dan berbicara dengan Sang Uskup, Anda akan merasakan sebuah aroma kegembalaan dan persahabatan yang kental nan tulus dari cara berpakain dan cara menyapamu. Karena itu, rasanya tidak heran bagiku ketika melihat kembali foto seperti ini, dan langsung menuliskan sesuatu untukmu untuk direnungkan di sela kesibukanmu.
Ya, beliau adalah seorang gembala sederhana, yang mengingatkanku akan segala tindak-tanduk serta kata-kata bijak yang selalu keluar dari Bapa Paus Fransiskus, teristimewa ketika beliau mengunjungi mantan Paus Benediktus XVI dan berkata kepadanya ketika Paus Benediktus menawari tempat berdoa khusus untuk seorang Paus; “Tidak…Kita adalah saudara,” maka mereka berdua pun berlutut di tempat yang disiapkan untuk mantan Paus Benediktus sambil berdoa.
Melihat foto perayaan ulang tahun yang sederhana dari Bapa Uskup Cornelius Piong, kiranya kira semua, terutama kaum hirarki (Para Uskup, Imam dan Diakon, pun para calon Imam) untuk kembali menghayati makna tahbisan yang disematkan kepada kita, serta hakikat panggilan kita sebagai murid Tuhan; “Aku datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani.” Dan, tentunya mentalitas melayani harus kita mulai dari hal-hal sederhana seperti yang apa yang ditampilkan oleh Sang Uskup dalam foto hari ulang tahunnya yang sederha itu.
Saya tidak mengajak pembaca untuk menghakimi para tertahbis di tempatmu maupun di mana saja Anda bertemu dengan mereka, tapi baiklah sebagai awam kita pun dengan rendah hati dan penuh ketulusan menciptakan kondisi yang memungkinkan para tertahbis belajar untuk menjadi seorang hamba yang sederhana di tengah umat Tuhan. Demikian pun bagi para tertahbis yang sempat membaca tulisan ini; Saya tidak memposisikan diri sebagai yang mengeritik (di luar kalian, para sahabatku), melainkan sebagai saudaramu yang mengajakmu dalam suasana persaudaraan untuk menjalani kehidupan kita sebagai imam yang sederhana, suci dan penuh bermartabat sebagai seorang gembala di tengah umat. Banyak hal kita terima sebagai kritik dari umat bukan karena ketidaksukaan umat terhadap kita, melainkan karena kita sendiri menciptakan fakta yang menjadi sebab sebuah kritikan.
Salam dan doa dari seorang sahabat untuk para sahabatnya,
Rinnong