MENGENDUS SUARA TUHAN DALAM BISINGNYA DUNIA DIGITAL

DAILY WORDS, MINGGU, 14 JANUARI 2024
MINGGU BIASA II – TAHUN B
BY RP. PIUS LAWE, SVD

BACAAN I : I SAM 3: 3b – 10. 19
MAZMUR : MZM 40: 2. 4ab. 7 – 8a. 8b – 9. 10
BACAAN II : I KOR 6: 13c – 15a. 17 – 20
INJIL : YOH 1: 35 – 42

@ Setiap kita tentunya mempunyai pengalaman yang khas atau unik tentang panggilan Tuhan atas diri kita masing-masing. Saya teringat akan pengalaman panggilanku menjadi seorang imam. Awalnya berdasarkan motivasi-motivasi yang dangkal dan bersifat lahiriah. Semuanya bermula dari menyaksikan para misionaris Eropa yang bermisi dengan selalu berkuda, berjubah putih, berkeliling sambil membagi bonbon/gula-gula kepada anak-anak, dst. Ketertarikan pada hal-hal lahiriah seorang misionaris ini diperkuat lagi dengan pengalaman dididik dan dibina oleh para biarawati CIJ dan CB serta PRR. Keterlibatan di dalam kegiatan Pelajar Katolik dan Misdinar selama masa SMP turut mengasah dan memperkokoh motivasiku untuk menjawab panggilan Tuhan. Dan sungguh, suara panggilan Allah ini berawal dari rumah ketika saya masih kecil dan selalu disapa “tuang” oleh Ibu dan kedua saudaraku, terlebih ketika saya melakukan gerakan-gerakan seorang imam seolah-olah sedang merayakan ekaristi. Saya bahkan mengenakan pakaian dari kakak perempuanku untuk melakonkan peran seorang imam dalam merayakan kurban misa. Lucu dan menggelikan memang jika diingat kembali. Sungguh, ini adalah awal dari “suara panggilan Allah” yang saya alami, yang merupakan “ kecambah panggilan ” yang pada akhirnya menarik saya secara pribadi untuk menanggapinya secara lebih serius dan mendalam. Dari kecambah panggilan yang tampak dalam hal-hal lahiriah yang sederhana ini, akhirnya saya terus melangkah sampai dengan detik ini, berdiri di hadapanmu semua sebagai seorang pelayan Tuhan-Biarawan misionaris Serikat Sabda Allah yang diutus untuk mengabdi atau melayani di kebun anggur Tuhan.

@ Firman Tuhan yang kita dengar hari ini, mengisahkan panggilan Allah dalam cara dan bentuknya yang unik/khas. Pertama , kisah Samuel. Dikisahkan bahwa dia tidur di dalam Bait Allah bersama imam besar, Eli. Tidur di dalam Bait Allah sama halnya dengan “ada di hadirat Allah”. Tidur di Bait Allah dapat kita artikan sebagai disposisi batin yang senantiasa “rindu untuk ada di hadirat Allah”. “kerinduan untuk” dan “ada di hadirat” Allah ini merupakan sesuatu yang mesti kita miliki dan lakukan jika kita mau mendengar “suara panggilan Allah”. Lebih menarik lagi, Samuel mengalami kesulitan untuk membedakan mana suara Allah dan mana suara imam bersar, Eli. Dia mungkin belum tahu persis mana yang dinamakan “suara Allah”. Dia mungkin masih sibuk dengan segala imaginasi “kemuda-beliaannya” sehingga sulit baginya untuk membuat discermen atas berbagai jenis suara yang datang dan menyapa atau mengusiknya. Kedua , tentu saja Eli – Sang Imam Besar Silo lebih berpengalaman tentang “ada dan merindukan Allah”. Pengalaman ini menuntun Eli untuk menjadi lebih mampu membedakan manakah suara Allah dan manakah yang bukan suara Allah. Dari kemampuan yang dimiliki oleh karena ketekunannya untuk selalu ada di dalam Bait Allah, Eli dapat menuntun Samuel untuk mengenal dan menjawab suara panggilan Allah dimaksud. Ketiga , peran Eli dalam menuntun Samuel untuk mengenal suara Allah, dapat kita jumpai di dalam peran Yohanes Pembaptis dalam memperkenalkan Yesus kepada kedua muridnya. Seruan Yohanes dalam memperkenalkan Yesus kepada kedua muridnya adalah suatu seruan yang “punya kuasa/otoritas” sehingga hal itu langsung saja memengaruhi dan meyakini kedua murid untuk segera mengikuti Yesus. Keempat , setelah mengikuti petunjuk Yohanes Pembaptis, kedua murid itu pun dengan penuh keyakinan membuka diri terhadap tawaran mengikuti Yesus dan bahkan sampai di tempat di mana Yesus tinggal. Mereka pun tinggal bersama-sama dengan Yesus. Membayangkan situasi pada waktu itu, dimana ada begitu banyak tawaran untuk mengikuti banyak guru dengan aliran dan ajarannya masing-masing, termasuk Yohanes Pembaptis, kedua murid Yohanes ini mempunyai telinga bathin yang peka dan murni.

@ Telinga bathin mereka tidak banyak terkontaminasi oleh berbagai macam bunyi atau hal duniawi yang menghalangi mereka untuk mengikuti Yesus. Atas dasar kemurnian telinga bathin ini, mereka akhirnya dapat mendengar suara panggilan Yesus dan petunjuk dimana Dia tinggal. Hal ini berarti, kedua murid belum terpovokasi dan terkontaminasi oleh berbagai macam bunyi atau suara yang tentu saja dapat memalingkan wajah mereka dari Yesus – Sang Guru Ilahi.

@Dalam era digital ini, ada seribu tantangan datang silih berganti. Setiap detik dan menit, seluruh panca indra kita dapat terkontaminasi dengan berbagai macam informasi yang berseliweran secara digital dan tak dapat dikontrol atau dibendung. Dunia digital menawarkan seribu satu macam bunyi/suara, warna, corak, bentuk, model, rasa, dst., yang tentu saja dapat menghalangi mata dan telinga hati atau bathin kita untuk mendengar suara panggilan Allah atau melihat kehadiran-Nya di tengah-tengah dunia tempat kita hidup. Dunia digital sangat powerful / super kuat dalam memengaruhi ketahanan diri atau mental kita dalam menghadapi berbagai macam tawaran atau godaan di dunia ini. St. Paulus kepada jemaat di Korintus membahasakan tantangan tawaran itu sebagai “kenikmatan tubuh jasmani” yang senantiasa menggiring manusia kepada pengejaran akan kenikmatan duniawi yang bersifat sementara. Bagaimana mungkin kita dapat mendengar suara panggilan Allah di era ini jika semua indra yang kita miliki setiap detik atau menit terkontaminasi oleh berbagai macam peristiwa atau informasi yang datang lewat berbagai fasilitas digital? Bagaimana mungkin kita dapat mendengar dan melakukan KEHENDAK ALLAH jika seluruh indra kita selalu digerogoti oleh berbagai macam tawaran duniawi yang datang secara massive lewat sarana-sarana yang serba digital? Apakah di era yang serba digital ini, generasi Muda Katolik masih mampu mendengar suara panggilan Allah yang datang bahkan lewat hal-hal yang sepele atau dangkal sebagaimana yang saya alami di awal perjalanan panggilanku?

@ Saya yakin, kita semua mengalami bahwa semakin hari semakin sulit bagi generasi milenial ini untuk mendengar suara panggilan Allah secara jernih. Oleh karena itu, ada dua hal sederhana yang saya tawarkan berdasarkan refleksiku atas firman Tuhan hari ini. Pertama , hidup doa dalam keluarga mestinya ditingkatkan dan didalami secara lebih serius. Ingat, Samuel hanya dapat mendengar suara panggilan Allah di dalam Bait Allah. Kedua , orang tua dan para pembina, baik di sekolah, di gereja dan di masyarakat sungguh-sungguh memainkan peranan yang sangat penting di dalam menuntun anak-anak kita untuk lebih peka dan mampu mendengarkan suara Allah di tengah kebisingan dunia ini. Para orang tua dan para Pembina hendaknya memberi teladan yang baik akan “ada di hadiran Allah/hidup doa” dan “ketahanan dalam mengatasi hegemoni teknologi yang serba digital ”. Hanya dengan pendampingan yang baik dan sejak dini, generasi muda Katolik dapat mendengar suara Allah di tengah riah riuhnya suara-suara yang sedang berseliweran di atas muka bumi yang kian hari kian dikuasai oleh teknologi digital. Mari bersama-sama kita mendampingi orang-orang Muda Katolik untuk mengendus suara Allah di tengah dunia yang semakin gaduh dengan berbagai macam suara yang datang ke telinga bathin kita secara digital dan massive . Have a wonderful and blessed Second Sunday in Ordinary Time, filled with love and joy. Warm greetings to you all ….padrepiolaweterengsvd…🙏🏽🙏🏽🙏🏽🙏🏽🙏🏽