(Amos 6:1ab.4-7; II Timotius 6:11-16; Luk 16:19-31)
Minggu 25 September 2022
RD. Novly M
Apa itu miskin? Pada umumnya miskin berarti tidak memiliki benda atau obyek tertentu. Secara ekonomis, miskin berarti memiliki keterbatasan finansial atau material. Kitab Suci juga berbicara banyak tentang isu-isu kemiskinan. Dalam bulan September 2022, bulan Kitab Suci ini, pada pertemuan kedua dengan tema Allah Sumber Harapan Untuk Melawan Ketidakadilan, juga direfleksikan tentang kemiskinan sebagai bagian dari ketidakadilan. Banyak orang yang miskin dan terpinggirkan.
Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, Yesus juga berbicara tentang kemiskinan, dan Dia sangat sering menunjukkan perhatiannya kepada orang yang hidup miskin. Misalnya Yesus pernah berkata bahwa Dia datang untuk membawa kabar gembira bagi orang miskin (bdk. Luk 4:18; 7:22). Yesus juga mengatakan bahwa ketika seseorang mengadakan perjamuan, maka yang diundang adalah orang miskin (bdk. Luk 14:13-14). Ini berarti Yesus memfokuskan pelayanan kepada orang miskin. Kemiskinan menjadi perhatian Yesus karena memang pada dasarnya orang miskin perlu dibantu. Selain itu kemiskinan menjadi perhatian Yesus karena hanya orang yang “menempatkan diri miskin di hadadapan Tuhan” yang bergantung kepada Tuhan.
Orang yang miskin di hadapan Tuhan bukan bukan pertama-tama menunjuk keadaan berkekurangan secara material atau status sosial semata, tetapi menunjuk pada penghayatan diri seseorang yang merasa diri kecil di hadapan Tuhan. Itulah makna kemiskinan di hadapan Tuhan. Dengan demikian, kemiskinan menunjuk pada dua aspek, yaitu miskin dalam arti berkekurangan, dan miskin dalam arti rohani yaitu orang yang memiliki ketergantungan penuh kepada Tuhan karena merasa diri “kecil” dan “tidak berharga” di hadapan Tuhan.
Injil hari ini juga bercerita tentang kemiskinan. Gambaran kemiskinan ditunjukkan dalam diri Lazarus. Dalam injil hari ini, Yesus memperlihatkan keberpihakannya pada orang miskin karena memang orang miskin adalah orang-orang yang perlu mendapat perhatian. Yesus mencintai orang miskin karena banyak kali secara sosial, filosofis, dan kulutural, orang miskin tidak mendapat perhatian yang cukup, dan juga secara rohani Yesus mencintai orang yang miskin di hadapan Allah karena hanya orang-orang seperti ini yang tidak sombong, menyadari keterbatasannya, kedosaan, dan berserah penuh pada Tuhan demi keselamatan. Inilah arti sebuah kemiskinan dalam sudut pandang rohani atau kemiskinan teologis. Jadi siapapun tetap dicintai Tuhan, asalkan kita menempatkan diri miskin di hadapan Tuhan atau rendah hati di hadapan Tuhan. Namun di lain sisi Yesus tidak membenci orang kaya atau orang yang berkepunyaan. Yesus mencintai semua orang, asalkan bisa “menjadi miskin di hadapan Allah atau miskin dari sudut pandang rohani”.
Selain itu, dalam hubungan dengan kemiskinan, Yesus juga berbicara tentang sikap orang kaya. Sekali lagi Yesus tidak membenci orang yang kaya. Pokok penting yang Yesus tekankan dalam hubungan dengan hal ini adalah tentang kesediaan diri untuk berbagi. Yesus tidak melarang seseorang untuk menjadi kaya, tetapi Yesus ingin agar kekayaan ini memiliki dampak sosial bagi orang lain. Orang kaya dalam injil hari ini tidak mendapat tempat yang istimewa di hadapan Tuhan karena semasa hidupnya dia tidak mau berbagi kepada orang lain.
Dalam ensiklik Fratelli Tutti, Paus Fransiskus katakan, “hidup ada di mana ada ikatan, persekutuan, persaudaraan; dan hidup itu lebih kuat daripada kematian bila dibangun di atas hubungan yang benar dan ikatan kesetiaan. Sebaliknya, tidak ada hidup di mana seseorang beranggapan hanya menjadi milik dirinya sendiri dan hidup sebagai pulau: dalam sikap seperti itu kematian menang”. Kata-kata Paus mengingatkan kita untuk tidak hidup untuk diri sendiri. Kita harus jujur bahwa dalam arti tertentu, kita “kaya”, baik secara sosial, filosofis, kultural, ekonomi, dan lain sebagainya. Hidup menjadi sungguh-sungguh sebuah kehidupan bila kita berbagai dengan orang lain, tetapi hidup menjadi sebuah kematian bila kita hanya hidup untuk kepentingan diri sendiri saja. Amin.