*EMBUN ROHANI PAGI DARI KOTA AMBON MANISE* _Minggu, 21 Agustus 2022_ Pekan Biasa XXI*Injil :…
Oleh: Diakon Atus Mayabubun
Ferdy Sambo kini menjadi orang “yang paling terhukum di Indonesia.” Bahkan mungkin tak ada lagi ruang pengampunan baginya. Orang berlomba-lomba untuk menjadi hakim atas dirinya. Mulai dari yang tua hingga yang muda; dari yang berkepentingan hingga tidak berkepentingan; dari yang kejahatannya terselebung hingga yang kejahatan tampak. Semua ingin agar Sambo sang penjahat moral itu dihakimi, bahkan dengan hukuman mati (death penalty). Hukuman mati dipandang sebagai retribusi yang adil untuk kejahatan yang dibuatnya karena merenggut nyawa seorang manusia. Apalagi kejahatan itu meninggalkan luka bagi keluarga. Sebuah luka yang terus menganga lebar, ibarat lubang yang besar, yang tidak bisa ditutup oleh apapun, begitulah kata seorang Imam Katolik ketika ia menjelaskan tentang arti peristiwa kematian bagi keluarga.
Kejahatan pembunuhan yang dibuat Sambo sudah pasti tidak bisa dibenarkan secara moral, hukum bahkan oleh agama. Meskipun demikian, saya ingin melihat “peristiwa penghakiman Sambo,” dari sudut pandang yang lain, sudut pandang biblis. Kisah Sambo mengingatkan saya akan kisah Injil Yohanes 8:2-11, tentang seorang perempuan berdosa yang ingin dirajam dengan batu hingga mati karena kejahatan moral (zinah) yang dibuatnya. Zinah dalam praktik hidup orang Yahudi merupakan sebuah kejahatan yang tak bisa diampuni. Hukuman atas kejahatan semacam itu ialah dirajam dengan batu hingga mati. Tak mengherankan waktu itu, semua orang ingin menjadi hakim dan ingin melempari wanita itu hingga mati. Berhadapan dengan semua orang yang ingin menghakimi sang wanita, Yesus memberikan sebuah pernyataan retoris: “Barang siapa di antara kamu tidak berdosa hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” Tak ada seorang pun yang berani menjadi yang pertama, apalagi melemparkan batu pada sang wanita. Justru mereka semua pergi dengan malu mulai dari yang tua hingga yang muda. Yesus pun tidak menghakimi dan menghukum sang wanita, meskipun Yesus tahu, sang wanita adalah pendosa dan Yesus sendiri tidak berdosa. Yesus justru mengingatkan sang wanita, “Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” Kisah kejahatan Sambo memang tidak persis sama dengan kisah wanita yang berzinah itu. Dua kejahatan yang tampak berbeda, tetapi memiliki kesamaan di satu sisi. Kesamaan itu tampak lewat “fenomena penghakiman.” Banyak orang tampak merasa paling benar, tidak berdosa, dan ingin menghakimi Sambo. Dalih mereka ialah menuntut keadilan. Dalih itu sudah pasti benar, dan tak bisa dipungkiri. Memperjuangkan keadilan memang adalah tugas semua orang apalagi itu berkaitan dengan hak hidup. Tetapi apakah kita pantas menghakimi dan menghukum seorang pendosa, bila kita sendiri berada dalam dosa? Dan bukankah proses hukum sementara berjalan? Saya membayangkan bahwa seandainya persoalan Sambo ada pada zaman Yesus, atau sebaliknya Yesus hidup di Indonesia pada zaman ini, ia pasti akan berdiri di samping Sambo, dan mengajukan pernyataan yang sama kepada orang-orang yang menghakimi dia: “Barang siapa tidak berdosa hendaklah dia yang pertama melemparkan batu/menghukum Mati Sambo.” Mungkin semua orang yang menghakimi dia akan pergi dengan malu. Pastinya pula persoalan ini sudah selesai karena kejahatan itu sudah terungkap. Yesus mungkin akan dengan jelas menunjuk bahwa Sambo telah melakukan dosa. Mungkin tidak ada lagi rekayasa yang kemudian membuat kasus ini berlarut-larut, dan keluarga pasti tenang karena keadilan itu sudah terwujud. Mungkin pula pertobatan itu akan terwujud, sehingga seorang pendosa berat seperti Sambo pun memiliki masa depan.
Kisah kejahatan Sambo memang tidak persis sama dengan kisah wanita yang berzinah itu. Dua kejahatan yang tampak berbeda, tetapi memiliki kesamaan di satu sisi. Kesamaan itu tampak lewat “fenomena penghakiman.” Banyak orang tampak merasa paling benar, tidak berdosa, dan ingin menghakimi Sambo. Dalih mereka ialah menuntut keadilan. Dalih itu sudah pasti benar, dan tak bisa dipungkiri. Memperjuangkan keadilan memang adalah tugas semua orang apalagi itu berkaitan dengan hak hidup. Tetapi apakah kita pantas menghakimi dan menghukum seorang pendosa, bila kita sendiri berada dalam dosa? Dan bukankah proses hukum sementara berjalan? Saya membayangkan bahwa seandainya persoalan Sambo ada pada zaman Yesus, atau sebaliknya Yesus hidup di Indonesia pada zaman ini, ia pasti akan berdiri di samping Sambo, dan mengajukan pernyataan yang sama kepada orang-orang yang menghakimi dia: “Barang siapa tidak berdosa hendaklah dia yang pertama melemparkan batu/menghukum Mati Sambo.” Mungkin semua orang yang menghakimi dia akan pergi dengan malu. Pastinya pula persoalan ini sudah selesai karena kejahatan itu sudah terungkap. Yesus mungkin akan dengan jelas menunjuk bahwa Sambo telah melakukan dosa. Mungkin tidak ada lagi rekayasa yang kemudian membuat kasus ini berlarut-larut, dan keluarga pasti tenang karena keadilan itu sudah terwujud. Mungkin pula pertobatan itu akan terwujud, sehingga seorang pendosa berat seperti Sambo pun memiliki masa depan.
Dari Stasi Pinggiran St. Petrus Kalar-Kalar, Aru Selatan Barat “Ketika ada jedah lagu, tiba-tiba gadis…
EMBUN ROHANI PAGI DARI KOTA MUTIARA DOBOJumat, 22 November 2024Injil: Luk. 19 : 45 -…
EMBUN ROHANI PAGI DARI STASI FERUNI, PULAU TRANGAN, ARU SELATANKamis, 21 November 2024Injil: Luk. 19…
EMBUN ROHANI PAGI DARI STASI SALAREM, KEPULAUAN ARURabu, 20 November 2024Injil: Luk. 19 : 11…
Selasa, 19 November 2024Injil: Luk. 19 : 1 - 10 EMBUN ROHANI PAGI DARI STASI…
EMBUN ROHANI PAGI DARI STASI BELTUBUR, KEPULAUAN ARUSenin, 18 November 2024Injil: Luk. 18 : 35…