Karena mau mengikuti perayaan misa syukur Uskupku di Kei Kecil, saya berangkat dari Ambon dengan KM. Ngapulu pada Minggu malam, 9 Mei 2022. Tidak ada ombak dan gelombang yang berarti dalam perjalanan pulang kampung kali ini. Di dalam kapal inilah, saya mengambil waktu sejenak merenungkan motto tahbisan Uskupku, MGR. Seno Ngutra, “Duc in altum”, yang saya renungkan dari Injil Lukas 5:1-11.
” Duc in altum” atau “bertolaklah ke tempat yang dalam” adalah permintaan Tuhan Yesus kepada Simon. Permintaan ini dapat dimengerti tuntas bila kita sampai memahami kata-kata Simon merespon permintaan Tuhan Yesus: “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.” Keterangan lebih bisa didapat dari seruan simpatik Simon ini. Yakni bahwa sebenarnya, termasuk ke tempat yang dalam pun, mereka telah berusaha menangkap ikan disana, namun mereka tidak menangkap apa-apa.
Lalu, muncul pertanyaan: Apakah artinya “Duc in altum” itu sebenarnya? Apakah artinya ke tempat yang dalam saja? Ternyata tidak. Seruan “Duc in altum” ini memiliki makna yang jauh lebih radikal dari sekedar membatasi permintaan ke tempat yang dalam. Permintaan ini bukan sekedar soal kedalamam saja. Namun lebih dari itu, ke tempat mana Tuhan meminta kita pergi. Dengan penegasan lain, kedalaman bisa memberi dimensi tapi soal dasariahnya adalah ke tempat mana Tuhan meminta kita pergi. Itu berarti kehendak apa yang ada di balik atau di dalam horison Tuhan, Sang Guru, itulah yang hakiki. Itulah kesejatian memahami seruan “Duc in altum” ini; Sebuah isyarat memahami lirikan Tuhan terarah kemana.
Dari horison inilah, kita bisa memahami sikap Simon. Baginya, sesuatu yang hakiki berasal dari Tuhan dan keluar sebagai sesuatu yang diminta Tuhan harus ditanggapi dengan ketaatan iman yang absolut atau penuh: “… Tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.” Model ketaatan seperti ini termasuk membatalkan Simon untuk membuat negosiasi, lobby atau melancarkan strategi rayu-merayu: kalau boleh diurungkan, dibatalkan, ditunda atau lain sebagainya. Bahkan kehebatan dan sisi mumpuni Simon bersama rekan-rekannya di laut tidak dipakai sebagai dasar menolak seruan “Duc in altum” ini. Tidak ada lagi spekulasi bahwa seakan-akan Simon jauh lebih hebat, jauh lebih tahu, jauh lebih bisa diandalkan, jauh memiliki pengalaman karier di atas laut sehingga harus dipakai pertimbangannya sendiri bersama rekan-rekannya. Paradigma akhirnya berubah dari “Kami sudah bekerja keras”, menjadi “… Karena Engkau yang menyuruhnya”. Efek ketaatan ini adalah kesia-siaan yang sejak awal dituai Simon dan rekan-rekannya akhirnya tergantikan dengan kelimpahan menangkap ikan. Sebuah keadaan dimana hendak ditunjukkan kepada Simon dan rekan-rekannya bahwa kesungguhan hati menaati seruan atau perintah Tuhan justru mendatangkan berkat dan bukan sebaliknya. Karena itu, Simon dan rekan-rekannya maju dan tidak minta mundur diri, tidak balik belakang dan mengucapkan kata goodbye untuk tidak terus mengikuti Tuhan. Ketaatan itu bagi Simon adalah kesediaan hati menerima diri kemana saja ia diminta Tuhan untuk pergi.
Berlayar pulang kampung kali ini, jadi juga kesempatan merenungkan seruan “Duc in altum” ini dalam tugas perutusan sebagai seorang imam di Keuskupan Amboina. Ditugaskan Uskup untuk kembali ke Jayapura sebenarnya jadi kesempatan indah belajar mengambil sikap Simon: “… Karena Engkau yang menyuruhnya. ” Permintaan Uskup adalah permintaan Dia yang memanggilku untuk menggenggam rahmat imamat ini di dalam perahu-perahu bersamaNya. Dimana Uskup memintaku kesitu, saya harus taat total dengan mengatakan ke tempat mana Engkau kehendaki, disitulah jawaban harga mati dibunyinyaringkan. Itulah bentuk sederhana menghayati spiritualitas hidup Uskup Baruku, MGR. Seno Ngutra sebagai imam dari Diosis ini. Tuhan membantu kita semua dengan Yang Mulia, Uskup kita.
Marlon Taher
(Di atas KM. Ngapulu kemarin malam)