Rempah rempah menjadi komodoti yang paling dicari bangsa barat. Tahun 1511, datanglah bangsa Portugis. Antonio d’Abreu adalah salah satu nama yang disebut dalam catatan sejarah.
Kehadiran Portugis lambat laun mendapatkan tantangan dari penduduk setempat. Mereka tidak mau Portugis tinggal lama di Banda. Gelagat ingin memonopoli perdagangan sama sekali tidak dikehendaki dan apalagi dianggap menyebarkan Agama Katolik. (J Viliers, Trade and society in the Banda Island. In the sixteenth century, 1981). Negeri Banda adalah Islam sejak sedia kala.
Vincent C. Loth dalam “Pioneers and Perkeniers: The Banda Islands in the 17th Century”, menulis, tahun 1599 datanglah VOC. Bandanese atau penduduk Banda akhirnya merasa menemukan sekutu yang kuat yang nanti kelak menolong mereka. VOC dipandang sebagai penyelamat. Dan benar saja, VOC segera mengusir keluar bangsa Portugis dari Banda.
Perilaku VOC dalam hal ini Bangsa Belanda terjadi hampir di seluruh Maluku. Semisal Kota Ambon yang telah dibesarkan oleh Portugis dimana kehadiran Portugis telah menjadi bagian dari penduduk kota Ambon di kala itu harus diusir keluar oleh Belanda.
Karel Steenbrink dalam ‘Jesuit in Indonesia’ menulis perihal kedatangan Admiral Belanda Steven Van der Haghen 22 February 1605 di Ambon. Beberapa waktu kemudian tentara Portugis menyerah. Mereka dipaksa untuk taat kepada pemerintah Belanda. Semua penduduk Katolik berada di bawah kuasa pemerintah Belanda dan prince of orange. Warga Portugis angkat kaki dari Ambon termasuk dua Imam Jesuit pada tanggal 9 Mei 1605.
Benteng Nossa Senhora Da Anunciada sebagai penanda lahirnya kota Ambon pada tanggal 25 Maret 1576,(Pesta Liturgi Gereja Katolik, Maria menerima kabar gembira) oleh Belanda diganti dengan nama benteng Victoria. Saat Belanda mengambil alih benteng tahun 1605, mereka mengatakan management kota Portugis sangat rapih. Setiap desa dan Pulau memiliki standard perahu perang. Setiap desa memiliki waktu kerja (harian, mingguan dan bulanan). Kota Ambon memiliki Rumah Sakit Misericordia dengan sistem yang sangat jelas. Semua itu segera ditinggalkan oleh Portugis dan diambil alih sepenuhnya oleh Belanda.
Kembali ke Banda. Kehadiran VOC yang tadinya dianggap sebagai sekutu oleh penduduk Banda, berubah drastis. VOC dianggap lebih buruk dari Portugis. VOC mulai membangun benteng baru (Nassau) membuat pos perdagangan, menggunakan kekuatan militer untuk kepentingan mereka. Menetapkan kontrak baru dengan motive monopoli. Penduduk Banda hanya boleh menjual rempah rempah kepada VOC. Sesuatu yang tidak diterima oleh warga Banda. Penduduk Banda jauh sebelum kedatangan bangsa barat sudah biasa berdagang dengan China, India dan Arab Peninsula kini harus tunduk di bawah kuasa monopoli VOC.
Puncak kemarahan penduduk Banda adalah delegasi diplomatic yang berjumlah 46 di bawah pimpinan Pieter Verhoeven dan stafnya dibunuh.
Retaliasi dimulai. Gubenur Jenderal Jan Pieterzoon Coen pada akhir 1620, sesudah konsolidasi, persiapan bahan makanan di Batavia, ia memimpin eksepedisi dengan kekuatan terbesar, 19 kapal VOC menuju Banda. Ada 1655 orang serta 286 tentara Asia.
Apa yang akan terjadi?
Vincen C Loth menyebut “one of the blackest pages in the history of Dutch overseas expansion”.
Orangkaya Banda mencoba membuat penawaran kontrak dagang yang baru. Tak ada Jalan. Mereka ditangkap, 48 orang dipenggal oleh eksekutor jepang yang ikut dalam ekspedisi tersebut. Mereka dipandang sebagai otak di balik pemberontakan. Kepala Orangkaya, dipenggal ditancapkan di tiang bambu, dipertontokan kepada rakyat Banda yang hanya tersisa ibu dan anak anak.
789 keluarga orangkaya diangkut ke Batavia. Sebagian diangkut sebagai budak di Sri Lanka. 6000 jiwa dibunuh.
1700 penduduk Banda lainnya menyelamatkan diri dengan perahu ke Kei, Seram Laut, Kisar, gorom dll.
Dari 15.000 penduduk Banda hanya tersisa 1000 jiwa.
Sungguh satu peristiwa tragis, pembantaian, genocide!!!.
Parigi Rante atau sumur rantai tempat dimana jasad 40an orang yang dianggap pemberontak masih ada dan menjadi saksi bisu peristiwa kelam itu. Oleh masyarakat Banda orang tua mereka adalah pahlawan Banda.
Di Kei, ada saudara saudari yang dipanggil dengan sebutan orang Banda Eli/Elat atau Wadan El. Mereka adalah bagian dari sejarah kelam yang pernah terjadi. Saat ini keluarga besar Banda Eli telah menjadi bagian dari masyarakat Kei tetapi tidak kehilangan indentias mereka sebagai bandanese.