“YANG DIKUDUSKAN” MEMBURU KENAJISAN &“YANG DIANGGAP NAJIS” MERINDUKAN “YANG KUDUS”

DAILY WORDS, KAMIS 8 FEBRUARY 2024
PEKAN BIASA V
BY RP. PIUS LAWE, SVD

BACAAN I : I RAJ 11: 4 – 13
MAZMUR T : MZM 106: 3 – 4. 35 – 36. 37. 40
INJIL : MRK 7: 24 – 30

@ “Saat berada di dalam, kita meihat yang di luar sana tampak ‘hijau’ dan ‘menarik’. Namun ketika sudah berada di luar sana, sebaliknya kita melihat yang di dalam jauh leibh ‘hijau’ dan ‘menarik’.” Inilah kata-kata curahan hati dari seorang alumni Seminari San Dominggi Hokeng ketika sekali waktu mengunjungi kami adik-adiknya di Seminari Hokeng pada sekitar tahun 1994. Isi curahan hati ini sesungguhnya mau memberi pesan kepada kami agar tidak mudah membelokkan pilihan hidup hanya karena alasan-alasan yang reme teme. Hendaklah para seminaris lebih cermat dan reflektif di dalam membuat pilihan hidup ketika tiba saatnya untuk memilih atau membuat suatu keputusan atas pilihan tertentu. Pilihan hidup yang dibuat atas dasar nilai-nilai tertentu yang dikejar, turut memengaruhi determinasi seseorang untuk berjuang menggapai apa yang menjadi pilihannya.

@ Dalam kaitan dengan perihal membuat pilihan, saya teringat apa yang sering saya katakan kepada anak-anak Panti Asuhan Fadjar Baru di Mekarsari, Bogor dan juga anak asrama Komunitas Pastoran Masohi. Saya selalu mengingatkan mereka bahwa betapa mereka diberkati untuk ada di dalam suatu suasana yang serba terjamin (baik kebutuhan rohani maupun jasmani) jika dibandingkan dengan anak-anak di luar sana yang hidup di kos-kosan atau numpang di rumah keluarga dimana mereka harus berjuang untuk bisa dapat makan atau minum, dan bahkan tak punya waktu khusus untuk meningkatkan kehidupan spiritualnya. Tinggal dalam suasana yang jauh lebih baik ini, mestinya anak-anak panti asuhan dan asrama pastoran gunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk meningkatkan ketrampilan dalam bidang-bidang khusus yang diminati, terlebih dalam bidang intelektual.

@ Masih tentang membuat suatu pilihan, tanah air kita bahkan dunia international sedang merekah-rekah seorang pemimpin yang selalu dipandang sebagai an “unpredictable” president. Dialah Mr. Joko Widodo yang akrab kita sapa sebagai Presiden Jokowi. Ada satu bias dari berbagai konsekuensi “movement” sang presiden. Pilihannya untuk mendukung Prabowo (otomatis keluar dari partai pengusungnya dahulu yaitu PDIP) dan pilihannya untuk “diam” (tanda setuju atau mungkin sebagai penggagas) atas pencalonan anaknya Gibran menjadi wakil presiden, adalah sebuah pilihan yang membawa tanda tanya besar bagi begitu banyak pihak, minus mereka yang mempunyai kepentingan besar yang berhubungan dengan Prabowo jika dia bakal jadi pemenang PILPRES. Bahkan semua yang merasa dikecewakan justru balik membencinya dan bahkan membelakangi dia. Mengapa? Karena lima tahun yang lalu, Prabowo menjadi seorang rival politik (capres) yang dicercah habis-habisan oleh Jokowi. Dengan mendukung Prabowo berarti dia sedang menjilat ludahnya. Lebih parah lagi jika pilihan ini didasari atas usahanya untuk mempertahankan kekuasaan (Gibran sebagai bonekanya) dan mungkin juga menjaga harta kekayaan keluarga sebagai buah dari keakrabannya dengan kelompok oligarkhi. Ya, saya bukan sedang membahas satu kebenaran fakta tentang Jokowi dan tindakan “pembelotan”-nya melainkan memakati

@ Jika alasan “ momevent ” si presiden Jokowi adalah satu kebenaran maka movementnya ini tidak bedanya dengan raja Salomo yang telah “diurapi Tuhan” menjadi raja Israel – dilengkapi dengan rahmat hikmat dan kebijaksanaan, dan pada akhirnya minggat dari Allah dan mengabdi pada dewa/dewi asing oleh karena kepentingan-kepentingan duniawi yang melilit hidupnya. Pemimpin yang diangkat supahnya untuk mengabdi Allah lewat pengabdian yang jujur kepara rakyat adalah sosok pemimpin yang dikuduskan oleh Allah untuk membawa keselamatan (baca: kesejahteraan) bagi orang banyak. Pemimpin yang mengalihkan perhatiannya bukan pada apa yang sedari awal menjadi tujuan yang mulia, bak seorang yang dikuduskan oleh Allah dan sekarang membelot untuk memburu kenajisan. Raja Salomo telah melakukan hal yang sama. Dia yang telah dikuduskan/diurapi oleh Allah, sekarang mengarahkan perhatiannya pada hal-hal duniawi (menyembah dewa/I asing). Salomo sedang memburu kenajisan. Semoga tidak demikian dengan Presiden Jokowi. Salomo adalah gambaran siapa pun atau pihak manapun termasuk para pemimpin umat (Paus, Uskup, Imam, biarawan/i) dan para pemimpin sipil (eksekutif, legislative, yudikatif) yang telah dikuduskan Allah namun telah memalingkan perhatiannya kepada hal-hal duniawi. Salomo juga menjadi gambaran semua yang dianugerahi kesempatan untuk menikmati situasi atau suasana yang Sejahtera jasmani maupun rohani namun lebih memilih pada tawaran-tawaran yang lebih enak namun sesaat saja.

@ Belajar dari kejatuhan raja Salomo, mari kita meneladani Wanita Yunani berkebangsaan Siro Fenisia. Dia sungguh beriman pada “Yang Kudus” yaitu Yesus sendiri dengan tidak memedulikan anggapan orang Yahudi atasnya. Di mata orang Yahudi, dia – wanita ini seorang outsider/orang luar yang dianggap kafir. Yesus menekankan padangan yang sebelah mata orang Yahudi atas wanita Siro Fenisia ini dengan mengumpamakan tokoh “anak-anak” (wakil orang Yahudi yang merupakan bangsa pilihan Allah), roti sebagai lambang jaminan keselamatan dari Allah dan anjing (lambang bangsa yang dianggap kafir oleh orang Yahudi). Bagi wanita Siro Fenisia, kalaupun jatah roti/keselamatan itu tidak layak diberi kepada anjing (orang kafir) toh anjing-anjing dibiarkan makan dari remah-remah roti yang jatuh. Artinya, Wanita yang dipandang Najis sungguh-sungguh merindukan “Yang Kudus” yaitu Yesus sendiri.

@ Atas pengalaman raja Salomo dan pengalaman wanita Yunani berkebangsaan Siro Fenisia, bagi kita semua yang telah dikuduskan oleh Allah lewat sakramen-sakramen yang diterima dan oleh sumpah jabatan apapun yang telah diikrarkan, mari kita merawat kekudusan itu dan memohon kepada Tuhan agar menguatkan kita dengan Roh Kudus. Semoga kita tidak menajiskan apa saja yang sudah Tuhan anugerahkan kepada kita. Kepada kita semua yang mungkin pernah lalai, jatuh, dan dan bahkan menjadi sombong atas status kita sebagai orang Katolik atau posisi kita sebagai pimpinan baik agama maupun sipil, mari kita bangkit lagi dan memperbaiki cara pikir dan cara tindak. Mari kita membangun kerinduan yang mendalam terhadap YANG KUDUS – YESUS KRISTUS sendiri sambil tidak meremehkan orang-orang lain di sekitar kita. Yang dikuduskan Allah tetaplah tinggal di dalam kekudusan. Yang pernah menjadi najis atau menajiskan diri, mari mencontohi wanita Siro – Fenisia, yang kita bac aitu Have a great day filled with love and mercy… padrepiolaweterengsvd___