MENJADI PENJALA MANUSIA
DENGAN MEMBANGUN KESESUAIAN ANTARA
HATI – MULUT – TELINGA

DAILY WORDS, KAMIS, 30 NOVEMBER 2023
PEKAN BIASA XXXIV
PESTA ST. ANDREAS, RASUL
BY RP. PIUS LAWE, SVD

BACAAN I : ROM 10: 9 – 18
MAZMUR : MZM 19: 2 – 3.4 – 5
INJIL : MAT 4: 18 – 22

@ Saya teringat pengalamanku dalam menikmati pertandingan bola volley antara lingkungan, memperebutkan piala Paskah di paroki St. Maria Baneux kota Lewoleba Menariknya, di kota yang mayoritas penduduknya beragama Katolik, para pemain volley ini tidak hanya yang beragama Katolik. Bahkan pemain-pemain dari agama lain dilibatkan. Yang pasti, mayoritas pemainnya adalah uamt Katolik dengan tujuan untuk meningkatkan partisipasi umat dalam aktivitas jasmani dalam institusi rohani. Saya ingat sederetan nama pemain-pemain yang bagus waktu itu seperti: Pak Heri (heri bongkok), Pak Toni, Pak Juna, Pak Yohakim, Pak Wempy , dst. Piala Paskah ini diselenggarakan selama masa Prapaskah. Sudah pasti, setiap sore selama masa Prapaskah, ribuan penonton, bukan hanya yang Katolik, datang untuk menyaksikan pertandingan akhbar ini. Tiga tahun menyaksikan perhelatan ini, saya menemukan sukacita, kedamaian, kerukunan, cinta yang menjangkau semua suku, agama dan golongan. Pokoknya, semuanya memberi kesaksian yang luar biasa. Rupanya ini adalah wujud dari PRAPASKAH – PUASA yang NYATA. Bukan sekedar show off, sekedar pamer ritus-ritus yang kosong tanpa ada penghayatan cinta yang tulus dan nyata. Bukan sekedar arak-arakan Archa Bunda Maria menuju gua Maria di kaki bukit Lusikawak Lewoleba dengna rosario di tangan dipijit biji demi biji dengan suara lantang meneriakan SALAM MARIA. Ini bukan sekedar ritus belaka yagn menyembunyikan borok di dalam lingkungan internal Gereja Katolik paroki St. Maria Baneux. Bukan! Itu bukan yang saya saksikan waktu itu. Okay, kembali ke pertandingan Volley . Yang menakjubkan adalah bahwa selama itu saya tidak pernah menyaksikan, mendengar atau melihat dengan mata kepala konflik yang luar biasa, baik antar pemain, antar penonton, atau penonton terhadap panitia, dst. Damai sungguh menjadi suasana yang ditonjolkan waktu itu. Tidak ada terror, tidak ada kata-kata makian, tidak ada perkelahian fisik. Ya, ketika menulis refleksi ini, saya jadinya baper (terbawa perasaan). Saya sungguh-sungguh merindukan masa-masa SMP di kota Lewoleba yang sekarang sudah menjadi Ibu kota Kabupaten Lembata. Saya boleh berkesimpulan bahwa orang-orang Katolik yang menyelenggarakan pertandingan dan yang berpartisipasi waktu itu sungguh memberi teladan dalam hal sikap, tutur kata, tindakan yang senantiasa merangkul dan mempersatukan satu dengan yang lain. Mereka sungguh-sungguh menjadi PENJALA MANUSIA sebagaimana di dalam Injil hari ini dimana para Rasul dipanggil Yesus menjadi penjala manusia, termasuk Rasul Andreas yang kita rayakan Pestanya.

@ Siapa yang sebenarnya menjadi PENJALA MANUSIA? Apakah itu hanya tugas Paus, para uskup, para imam dan biarawan/i, atau tugas semua umat yang menamakan diri pengikut Kristus? Sekali lagi, jawabannya tetap sama: kita semua yang menamakan diri Pengikut Kristus, kitalah yang Yesus jadikan PENJALA MANUSIA. Namun, apa kira-kira kriterianya untuk menjadi PENJALA MANUSIA sebagaimana para Rasul yang dipilih dan dipanggil oleh Yesus? Untuk menjawab pertanyaan ini, Rasul Paulus menulis kepada jemaat di Roma penggalan surat yang mengatakan bahwa perlu adanya kesesuaian antara TELINGA – MULUT – HATI . Telinga untuk mendengar firman-Nya. Mulut untuk mengakui iman kita/mewartakannya di hadapan sesama/dunia. Hati untuk percaya atau yakin akan Kristus. Jika hati kita memberi signal adanya kepercayaan pada Kristus Sang Putera Allah, tentu mulut kita mesti mewartakan keluar apa yang menjadi isi dari signal hati kita. Dengan demikian, sesama yang mendengarkan suara atau pewartaan kita, yang didengarnya adalah INJIL atau KABAR GEMBIRA . Bukan yang didengar oleh sesama kita adalah terror, fitnah, maki-makian, perkelahian, tuduhan, dst. Apalagi tuduhan, maki-makian, fitnah itu dibuat melalui atau lewat media social yang diviralkan pada era digital ini. Saya yakin, kita semua sepakat bahwa kita yang mengakui diri Katolik namun masih suka sekali memfitnah, memaki, menuduh, memojokkan, menggosipkan bahkan lewat media social, kita mungkin perlu introspeksi ke dalam diri kita masing-masing, apakah kita sungguh-sungguh membangun kesesuain antara HATI – MULUT – TELINGA, yang sesungguhnya menjadi modal atau pegangan seorang PENJALA MANUSIA.

@ Hari ini, Gereja merayakan pesta St. Andreas, Rasul. Rasul Andreas adalah seorang rasul yang senantiasa berperan membawa orang kepada Yesus. Adreas yang memperkenalkan saudara-nya Simon Petrus kepada Yesus. Rasul Andreas pulalah yang memberitahukan kepada Yesus perihal anak lelaki kecil yang membawa lima ketul roti dan dua ekor ikan. Rasul Andreas tidak pernah lari dari tugas kerasulannya. Dia, setelah wafat dan kebangkitan serta kenaikan Yesus, tinggal bersama rasul-rasul yang lain untuk menantikan Pestakosta. Menurut tradisi suci, Rasul Andreas wafat di Patras, Acaia, digantung pada sebuah salib yang berbentuk huruf “X” (silang). Dia digantungkan di atas salib itu selama dua hari, dan selama bergantung, ia terus berkotbah kepada khalayak yang datang menyaksikannya. Rasul Andreas yang digantung dengan cara diikat bukan dipaku pada salib itu tetap setia berkotbah selama dalam kesengsaraan sampai dia wafat. Lewat kotbahnya, Rasul Andreas tetap berkomitmen untuk membawa sesama dekat kepada Tuhan. Rasul Andreas berkomitmen untuk menjaga kesesuaian antara HATI – MULUT – TELINGA sehingga dia tidak menyangkal Tuhan meskipun dia dihukum dengan cara yang keji. Dia membuktikan bahwa tindakannya harus menjadi suatu kesaksian yang hidup bagi sesama. Inilah PENJALA MANUSIA yang ulung.

@ Saya pun menyadari diri sebagai seorang Katolik dan lebih khusus sebagai seorang imam yang selalu berkotbah. Hendaknya saya berusaha di dalam Roh Kudus agar apa yang saya kotbahkan mestinya sesuai dengan perilaku hidup serta tutur kataku. Saya teringat seorang dosen yang mengajar homiletic di Chicago Catholic Teological Union dalam satu sesi summer course , menegaskan kepada kami bahwa di dalam setiap kotbah atau renungan atau apa pun pengajaran yang seorang imam/pengkotbah syeringkan dengan umat, mestinya menjadi juga pergumulan atau perjuanganku dalam ziarah hidupku. Saya tidak bisa hanya berteori dan sebaliknya menuntut orang atau umat untuk melakukan begini atau begitu. Saya yang mesti menjadi contoh dalam menjala manusia dengan membangun KESESUAIAN ANTARA HATI – MULUT – TELINGA. Begitupun umat Katolik, apa yang kita buat dalam segala hal ritual dan devosional (berdoa rosario sepanjang reli rosario, menyembah Sakramen Mahakudus, mengarak archa Kristus Sang Raja, mengarak archa Bunda Maria), semuanya hendaknya kita wujud nyatakan nilainya dalam relasi kita satu akan yang lain, apalagi ketika kita berada di antara umat yang beragama atau yang berdenominasi lain. Mari kita berlomba-lomba untuk berbuat kasih. Mari kita berlomba-lomba untuk menggantungkan ego kita pada salib (silang) tempat Rasul Andreas digantung, agar hidup kita sungguh-sungguh menjala manusia yang lain menuju kepada Allah sebagaimana Rasul Andreas yang menghantar Simon kepada Yesus. Kita hanya bisa menjadi rasul Andreas “ yang lain” yang menjadi penjala manusia hanya jika kita membangun kesesuaian antara HATI – MULUT – TELINGA. Have a wonderful day filled with love and mercy. Warm greetings to you all … padrepiolaweterengsvd🙏🏽🙏🏽🙏🏽🙏🏽🙏🏽🙏🏽