Setelah minum pagi, umat yang sudah menanti sambil bernyanyi dan bergoyang sejak pukul 05.30 memintahku untuk naik lagi ke kursi agar mereka bisa menandunya sampai ke dermaga.
Setibanya di sana, seakan mereka tidak mau melepasku pergi. Maka diiringi bunyi tifa, keluarlah syair sedih ini;
” Kapan lagi kita berkumpul di tempat ini?”
” Tak ada waktu lain lagi seperti ini.”
” Hati hancur mengenang semuanya ini.”
Maklum penantian 54 Tahun bukanlah waktu yang singkat bagi umat kecil terpinggirkan ini menanti Sang Gembala mereka.
Maka untuk menghibur dan menguatkan domba-domba kecil ini, sebelum naik ke speedboat, saya berkata; ” *Mulai sekarang, kalian tidak akan sendirian, kesepian dan merana lagi. Aku, Uskup dan Gembalamu akan selalu mendatangimu. Paling lama 3 Tahun, tapi saya ingin hanya dalam hitungan 2 Tahun, aku akan mengunjungi lagi kalian di sini. Jangan takut! Dengan motto ” *Duc in Altum,* ” saya pastikan bahwa kalian domba-domba kecil ini salalu ada di dalam hati dan tugas kegembalaanku. “
Aku pun naik ke speedboat tanpa memandang lagi wajah-wajah polos mereka yang terlihat sedih bercampur gembira dan haru. Hanya doa kecil kupanjatkan semoga Tuhan memberiku kesehatan dan kesempatan untuk selalu ada dan berjalan bersama domba-domba kecil ini di dunia ini, karena kuyakin bahwa di jalan menuju surga, pasti merekalah yang akan menuntun dan memapaku ke tempat Penghakiman Terakhir.
Dari Awear yang sepi di pesisir Barat pulau Yamdena, Kabupaten Kepulauan Tanimbar ( Mgr. Inno Ngutra : Minnong – Duc in Altum )