Minggu, 31 Juli 2022
RD. Novly Masriat
Kadang kala kehidupan duniawi dan kehidupan surgawi dipertentangkan. Seolah-olah dosa itu selalu ada pada hal-hal duniawi, dan sama sekali tidak ada hal baik di dalamnya. Lao Tzu, seorang filsuf cina berkata, bahwa “tidak ada kutukan yang lebih besar daripada merasa kurang puas. Tidak ada dosa yang lebih besar dari pada selalu ingin memiliki”. Kalimat ini menggarisbawahi bahwa yang mengantar kita pada dosa adalah rasa ingin memiliki yang berlebihan atau sikap serakah terhadap materi atau hal-hal duniawi. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa yang menjadikan kita berdosa bukan bertama-tama materi, harta, uang, jabatan, kekuasaan. Bumi dan segala isinya diciptakan oleh Tuhan dan semuya baik adanya. Manusia jatuh dalam dosa, ketika manusia serakah dan mendewakan hal-hal duniawi.
Patut diakui bahwa tidaklah salah bila kita memiliki materi, uang, jabatan, kekuasaan, dan berbagai hal duniawi lainnya. Hal-hal ini perlu juga dalam kehidupan manusia, tetapi hal-hal tersebut menjadi dewa untuk kehidupan manusia. Hal-hal duniawi tersebut diperlukan manusia, tetapi bukan berarti hal-hal itu adalah dewa bagi manusia. Kesalahan manusia adalah ketika mendewakan materi. Orang yang terlalu mendewakan harta, uang, jabatan dan popularitas akan jatuh pada kesombongan, keserakahan.
Yesus sendiri sudah juga meneggarisbawahi pentingya memanfaatkan harta dengan bijaksana. Menjadikan harta sebagai syarat pertama dan utama adalah hidup adalah sebuah kebodohan. Bagi Yesus, kebodohan besar seorang manusia adalah ketika mengaggungkan harta dan menimbun harta sebanyak-banyaknya untuk diri sendiri saja (bdk. Luk 12:20). Harta-harta ini dengan sekecap akan hilang dari diri kita. Ketika kita mati, semuanya akan kita tinggalkan, dan tidak satu pun dari harta itu kita bawa. Bagi Yesus, tidak ada artinya seseorang memiliki harta yang banyak, tetapi tidak memaanfaatkannya dengan bijak bagi kebaikan banyak orang (bdk. Luk 12:20-21). Yesus ingin menekankan pentingya fungsi sosial dari kekayaan yang kita miliki. Ketika kita bersedia untuk terbuka dan bermurah hati kepada orang lain, maka di situlah titik di mana kita tidak mendewakan harta dan kekayaan. Ketika kita tidak serakah dan memiliki nafsu jahat terhadap harta atau kekayaan, maka di situlah poin di mana kita mengutamakan kehendak surgawi.
Paus Fransiskus dalam ensilkik Evangelii Gaudium menegaskan pentinya solidaritas dalam hidup kristiani. Kekayaan yang kita miliki bukan pertama-tama untuk diri kita sendiri, tetapi terbuka juga bagi orang lain. Harta atau materi memiliki fungsi sosial dan hadir untuk bukan pertama-tama ditimbun tetapi juga bagi sebuah pelayanan. Oleh sebab itu, “mereka yang lebih beruntung hendaknya mengikhlaskan beberapa hak mereka, untuk makin berjiwa besar mengabdikan harta kekayaan mereka kepada sesama” (art. 189-190).
Setiap orang memiliki harta. Ada yang memiliki kekayaan duniawi, seperti uang, jabatan, kekuasaan. Ada yang memiliki kekayaan rohani, seperti semangat doa yang baik, ketekunan dalam berdevosi. Harta-harta ini tidak ditimbun untuk diri sendiri, tetapi juga dibagi kepada orang yang sangat membutuhkan. Dimensi sosial menjadi penting dalam memanfaatkan setiap “harta”. Suatu “kebodohan” besar bila harta-harta ini secara serakah ditimbun sebanyak mungkin untuk diri sendiri saja.