BOLEH KAH AKU MENCIUMMU, BAPA USKUP?

Sepenggal Kisah Saudaraku ABA dari Kota Banda Naira

Permintaan di atas keluar dari mulut ABA di akhir pertemuan kami di hotel miliknya tempat kami menyantap makanan siang kemarin.

Kemudian Aba melanjutkan: “Bila Imam Besar Istiqlal bisa mencium kepala Bapa Paus, aku pun bisa mencium kepala saudaraku, Bapa Uskup.”

Kemarin siang ketika kami santap siang di hotel Cilu Bintang Estate di Banda Naira, tiba-tiba datanglah seorang bapa sebaya yang memperkenalkan diri sebagai pemilik hotel. Sapaan akrabnya “ABA.” Beliau seorang Muslim taat namun sangat moderat, toleran dan nasionalis.

Beliau bertutur: “Bapa Uskup, ketika ada masyarakat menolak pembangunan kembali gedung gereja Katolik di atas tanah milik Gereja Katolik, saya langsung menelpon bapa Camat dan mengatakan, jangan membuat nama kita berdua tercemar hanya karena masyarakat menolak pembangunan gedung gereja Katolik itu. Kita ingin menciptakan Banda Naira menjadi kota Nusantara mini yang dihuni oleh semua orang yang berbeda agama dan keyakinan dengan damai.” Sungguh, aku benar-benar dibuat terkagum-kagum dengan cara berpikir Aba yang sangat moderat, toleran dan nasionalis itu.

Setelah santap siang yang enak, hasil masakan dari istri Aba, kami pun pamit pulang. Tapi Aba bilang: “Bapa Uskup, mohon bertahan sebentar. Aku ingin memberikan sesuatu kepada Bapa Uskup sebagai kenang-kenangan.” Beliau lalu membuka lemari koleksi barang-barangnya dan mengeluarkan cendra mata berupa “buah pala.” Sebelum menyerahkannya kepadaku, beliau berujar: “Kalau Imam Besar Istiqlal bisa mencium kepala Bapa Paus, aku pun bisa mencium kepala saudaraku, bapa Uskup.” Maka aku pun menimpalinya: “Iya saudaraku, Aba. Jika Paus bisa mencium tangan Imam Besar, maka aku pun akan mencium tanganmu sebagai seorang saudara dalam kemanusiaan, walaupun kita berbeda agama.”

Karena itu, bagiku jika sebuah persahabatan sudah sampai ke tingkat seperti di atas maka tidak ada lagi sekat dan tembok yang berdiri di antara kita. Sebaliknya yang ada hanyalah jembatan kemanusiaan yang membuat kita saling saling mengunjungi dan bertemu untuk menghormati satu sama lain walaupun masing-masing mengenakan baju keagamaan yang berbeda warna.

Dalam doa malamku, aku hanya berharap dan berdoa semoga di seantero Nusantara ini, lahirlah sosok-sosok ABA yang baru, yang menjadi pelopor kemanusiaan, keberagaman dan toleransi, sehingga di mana pun kita berada di Nusantara ini, yang kita alami dan temui hanyalah kedamaian, sukacita dan kegembiraan.

Terima kasi saudaraku, ABA dari Banda Naira. Tetaplah menjadi pengayom bagi masyarakat beragama di Kota Banda Naira yang indah dengan laut Banda yang terkenal itu.

Dari tepi Laut Banda, Kutuliskan ini untuk para sahabat ( Mgr. Inno Ngutra : Minnong – Duc in Altum )