DAILY WORDS, KAMIS, 27 JUNI 2024
PEKAN XII MASA BIASA
BY RP. PIUS LAWE, SVD
BACAAN I : II RAJ 24: 8 – 17
MAZMUR : MZM 79: 1– 2. 3 – 5. 8. 9
INJIL : MAT 7: 21 – 29
@ Ada satu fenomena atau gejala yang cukup kuat dalam hubungan dengan penghayatan hidup keagamaan dalam masyarakat modern adalah adanya penurunan kepercayaan banyak orang akan agama-agama institusional. Ada banyak factor yang melatarbelakangi adanya fenomena ini. Salah satu yang sangat menonjol adalah adanya ketidaksebimbangan antara ajaran atau perkataan dengan praktek atau perbuatan oleh para penganut agama-agama institusional. Sebagai akibat lanjut, begitu banyak orang yang memilih untuk tidak percaya pada Allah dalam agama-agama institusional dan lebih memilih untuk berbuat baik atau melakukan tindakan-tindakan kemanusiaan tanpa adanya embel-embel keagamaan dibalik perbuatan baiknya itu. Hal ini mungkin berhubungan atau langsung, atau tidak langsung dengan kelompok atau kaum ateis dan kaum humanis. Yang ateis tidak percaya akan adanya allah-allah atau Allah. Mereka juga tidak peduli dengan nilai-nilai kemanusiaan. Bagi mereka manusia tidak bedanya dengan ciptaan yang lain yang tidak punya tujuan di dalam hidup. Berbeda dengan kaum ateis, kaum humanis memilih untuk tidak memfokuskan hidupnya pada ajaran tentang Tuhan. Mereka mengarahkan hidupnya pada hal-hal kemanusiaan. Mereka bahkan tidak peduli akan adanya Tuhan atau agama institusional. Mereka cenderung untuk mengidentifikasikan dirinya dengan kaum agnostic. Ya, kaum agnostic kan lebih cenderung untuk tidak meyakini adanyaTuhan dan bahkan menolak akan adanya Tuhan kecuali mereka mendapat bukti empiris (nyata/sesuai dengan pengalaman) tentang adanya Tuhan. Saya mungkin sangat naif untuk menghubungkan adanya kelompok ateis dan humanis oleh karena “tidak adanya kesaksian yang benar” akan adanya Tuhan. Namun, jika kita kaum agamais/theis yang percaya akan adanya Tuhan tetapi kurang menunjukkan perilaku kita sebagai orang-orang yang percaya akan adanya Tuhan, sudah tentu hal ini membawa keraguan orang-orang yang sedang mencari Tuhan. Sekali lagi, mungkin asumsi saya ini keliru atau bahkan salah.
@ Tentang adanya kelompok ateis, agnostic dan humanis, lewat goresan refleksi hari ini, saya tidak berpretensi/berkeinginan untuk membahasnya secara detail dan mencari kebenaran atau ketidakbenaran atas “adanya” kelompok-kelompok itu. Saya hanya coba memberi gambaran bahwa adanya kelompok-kelompmok itu mungkin juga datangnya dari kelalaian atau kealpaan kaum agamawan yang percaya akan adanya Tuhan, untuk memberi kesaksian hidup. Kesaksian hidup yang, sekurang-kurangnya, menegaskan tentang adanya kekuatan Tuhan yang memengaruhi hidup seseorang dalam relasinya dengan dunia dan sesama. Yesus menegaskan hal ini di dalam ajaran-Nya yang kita dengar dalam bacaan Injil hari ini. Bagi-Nya, percuma jika orang-orang menyerukan nama Tuhan tetapi mereka tidak melaksanakan perintah Tuhan/kehendak Tuhan. Jika inti dari perintah Tuhan/hukum Tuhan adalah hukum cinta kasih, maka saya dapat mengatakan bahwa percuma bagi seseorang yang menyerukan nama Tuhan di dalam doa, meditasi dan kontemplasi, yang merayakan ibadah dari pagi sampai malam, yang merayakan Ekaristi Kudus setiap hari, tetapi jika dia tidak melaksanakan hukum yang utama dan terutama yaitu hukum cinta kasih, maka dia sama seperti orang yang membangun rumah di atas pasir (rumahnya tidak kokoh dan gampar rubuh dan terbawa banjir). Perwujudan atau penerapan dari pernyataan di atas dapat saya elaborasikan/jelaskan lebih jauh dalam contoh-contoh berikut: apalah artinya jika kami para pemimpin agama menyerukan tentang penegakan keadilan tetapi kami sendiri sudah bertindak tidak adil mulai dari dalam komunitas bahkan terhadap orang-orang di luar sana; apalah artinya jika ada umat yang berdoa siang dan malam, menggenggam rosario dan khusuk dalam doa, tetapi setelah ibadah, turut di dalam pencemaran nama baik orang lain atau turut bergosip ria tentang orang lain dan persoalan hidup mereka; apalah artinya jika Gereja sebagai institusi meneriakkan ketidakadilan dan korupsi, namun orang-orang dalam tubuh Gereja termasuk hirarkinya berseskongkol dengan untuk melakukan korupsi baik secara non fisik/korupsi nilai-nilai kemanusiaan maupun secara fisis seperti korupsi uang/materi; apalah artinya jika kita mengenakan kostum seuatu organisasi kemasyarakatan yang agamais atau juga Serikat Religius tertentu tetapi kita tidak terlibat secara aktif di dalam kegiatan-kegiatan karitatif yang bernilai kemanusiaan. Ya, masih banyak lagi yang dapat saya litanikan pada kesempatan ini, namun tentu kita sudah dapat mengisinya sendiri contoh-contoh tentang ketidakberimbangan antara perkataan dan perbuatan. Sebagai imam pun, saya banyak melakukan tindakan-tindakan yang tidak sejalan dengan ajaran-ajaran kristiani yaitu ajaran-ajaran cinta kasih yang Yesus ajarkan kepada kita.
@ Semua contoh di atas sebenarnya mau menegaskan bahwa kalau memang itu terjadi, yaitu perkataan yang tidak sejalan dengan perbuatan, maka kita yang percaya akan adanya Tuhan, sedang membangun sebuah rumah rohani yang begitu rapuh. Kita sedang membangun rumah di atas pasir dan bukan di atas wadas. Kita tidak beda dengan orang-orang Yehuda di jaman pemerintahan raja Yoyakhin dan Zedekia, yang hidup dalam ketidakseimbangan antara apa yang diajarkan di dalam Taurat Musa dengan praktek hidup mereka sehari-hari. Pada jaman kedua raja ini, begitu banyak kebobrokan yang terjadi. Adanya penindasan dan pemiskinan terhadap orang-orang kecil dan terpinggirkan. Kaum elite menggunakan kuasa mereka untuk memperkaya dirinya. Tiak ada lagi “rasa bersalah” atas apa yang mereka lakukan secara tidak adil terhadap sesamanya. Bibir mereka mengatakan bahwa mereka percaya pada Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub tetapi hati dan tindakan mereka jauh dari hukum cinta kasih yang Tuhan berikan di dalam Taurat Musa. Kerajaan Yehuda seperti sebuah bangunan yang sedang dibangun di atas dasar pasir. Maka ketika raja Nebudkanezar dari Babilonia datang menyerang, bangunan (kerajaan Yehuda) itu hancur berantakan. Semua orang, mulai dari raja-raja dan para pegawainya, serta rakyat bangs aitu diangkut ke pembuangan Babel.
@ Suatu pesan moral yang hendak ditekankan di sini: hendaknya kita membangun rumah di atas wadas. Inilah tumpuan yang kokoh dan tidak dapat dihancurkan. Saya namakan tumpuan itu sebagai *WADAS CINTA KASIH . Artinya, apapun lantunan doa dan lagu pujian yang kita dengungkan atau dendangkan, apapun ajaran yang kita ajarkan kepada sesama, apapun seragam/kostum yang kita kenakan, apapun jabatan yang kita emban di dalam masyarakat ataupun di dalam Gereja, hendaknya kita seimbangkan dengan praktek cinta kasih yang tulus dan Ikhlas. Saya tekankan TULUS dan IKLAS karena di musim-musim politik seperti ini, banyak pemberian itu mempunyai muatan politisnya. Cinta kasih yang kita hidupi dan sebarkan dapat terungkap di dalam tindakan memberi kepada yang berkekurangan, memaafkan/ mengampuni mereka yang bersalah kepada kita, berpikir dan berkata serta bertindak positif tentang dan terhadap sesama di sekitar kita, dst. Inilah *WADAS CINTA KASIH yang sesungguhnya. Dengan demikian, jika bangunan Tubuh Mistik Kristus itu dudukkan di atas atau bertumpu di atas WADAS CINTA KASIH yang tulus dan jujur, apapun badai atau tantangan datang menghadang, kita tetap berdiri kokoh-bergandengan tangan untuk hidup bersama di dalam kasih tanpa harus saling menjauhkan atau saling membuang. Kita saling mendoakan agar, dalam dan lewat kapasitas serta profesi kita masing-masing, kita berusaha untuk membangun Tubuh Mistik Kristus di atas tumpuan WADAS CINTA KASIH . Semoga demikian. Have a wonderful day filled with love and compassion. Warm greetings to you all. padrepiolaweterengsvd 🙏🏽🙏🏽🙏🏽🙏🏽🙏🏽🙏🏽