EMBUN ROHANI PAGI DARI KOTA AMBON MANISESabtu, 17 Desember 2022Minggu Advent IIIInjil : Mat. 1…
DAILY WORDS, SENIN, 12 FEBRUARY 2024
PEKAN BIASA VI
BY RP. PIUS LAWE, SVD
BACAAN I : YAK 1: 1 – 11
MAZMUR T : MZM 119: 67.68.71.72.75.76
INJIL : MRK 8: 11 – 13
@ Wahhh, ada KABAR GEMBIRA hari ini. Kabar gembira itu ada di dalam isi surat Rasul Yakobus. Isi surat yang sarat makna ini sekurang-kurangnya turut membuka tabir misteri tentang peran Allah di dalam penderitaan atau kesengsaraan yang dialami manusia. Apakah Allah masih tetap yang Maha Kuasa di hadapan penderitaan umat manusia? Apakah semua penderitaan atau kesengsaraan yang saya alami adalah bentuk PENCOBAAN dari Allah untukku? Ini adalah deretan pertanyaan eksistensial yang bakal menuntun kita untuk terus menelusuri diri dan perjalanan hidup kita lewat refleksi dan introspeksi yang tak bertepi. Satu jawaban St. Yakobus yang bagiku sangat meneguhkan adalah sebagai berikut: Allah tidak mencoba manusia. Manusia dicobai oleh keinginannya sendiri. Bagi St. Yakobus, keinginan manusia itu menyeret dan memikat hati. Jika manusia mengikuti keinginannya, bakal membuahi sesuatu yang disebut sebagai dosa. Pada prinsipnya, Allah memberi yang baik dan sempurna kepada manusia. Keinginan manusia itu sendiri yang membuatnya cenderung keluar dari kebaikan dan kesempurnaan yang Allah berikan.
@ Poin di atas kedengaran baik dan masuk akal. Namun, bila berhadapan dengan pengalaman bencana alam atau pengalaman kehilangan seseorang yang sangat kita cintai, misalnya orang tua, istri atau suami, figure yang kita kagumi, kekasih, etc. Apakah ini pencobaan yang “terberi” dari Allah, atau ini merupakan sesuatu yang terjadi secara mekanik? Ini kita berbicara tentang bencana alam dan kehilangan karena kematian seseorang yang kita cintai. Kalau bukan ini pencobaan dari Allah, apakah ini termasuk pencobaan oleh karena keinginan manusia? Saya yakin, kita semua sepakat untuk menjawab “tidak”. Siapa yang “gila” dan menginginkan bencana alam dan kematian orang yang sangat dicintai dan mengklaimnya sebagai sebuah PENCOBAAN?
@Mungkin ini yang dapat saya simpulkan: berhadapan dengan bencana alam dan kematian/kehilangan orang yang saya cintai, ada moment dimana saya merasa guncang. Mengapa bencana alam terjadi atas manusia apalagi atas mereka yang miskin dan menderita atau mereka yang innocent? Pertanyaan-pertanyaan ini tentu saja lahir dari perasaan TDAK NYAMAN/TERGANGGU oleh kejadian alam yang memporak-porandakan kenyamanan dan kemapanan yang sedang mereka nikmati. Manusia menjadi nyaman dan melekat erat dengan kenyamanan itu sendiri. Manusia merasa terusik dengan kejadian-kejadian alam yang merugikan. Manusia selalu ingin untuk hidup dalam KENYAMANAN. Pengalaman dan perasaan CODIPENDENSI – kebergantunganku pada “kekuatan/kenyamanan oleh karena alam yang indah permai tanpa bencana apa pun, dan oleh karena kebersamaan dan persaudaraan/kasih bersama siapa pun” dalam periode waktu yang lama, sepertinya kuat dan melekat erat dengan diriku. Di sini, keinginan agar ketentraman dan kenyamanan di tengah alam yang indah permai, serta “kemesraan/kebersamaan dengan orang yang dikasihi tidak ingin dibiarkan untuk berlalu. Keinginan ini sangat kuat memengaruhi seluruh diriku. Saya merasa ditinggalkan, kesepian, tak berdaya, dll. Secara kasad mata saya melihat situasi ini sebagai akibat langsung dari bencana alam dan dari kematian seseorang sebagai cobaan bagi saya. Padahal bukan. Bencana alam adalah sesuatu yang natural. Alam berjalan sesuai hukumnya. Begitupun dengan kematian. Kematian tetaplah kematian. Tidak ada yang dapat menghentikan kematian itu sendiri. Yang menjadi satu “pencobaan” adalah KEINGINAN-KU oleh karena EGO-ku untuk tidak “membiarkan” ketenangan dan kemesraan/kebersamaan itu berlalu. Secara psikologis, tidak adanya sikap “ letting go” – merelakan pergi kedamaian/ketentraman/kemesraan. Memang hal ini membutuhkan proses yang panjang karena saya sedang bergumul dengan keinginan manusiawiku sendiri. Dalam hal ini, pernyataan St. Yakobus itu sungguh benar dan “kena” pada pengalaman hidup kita.
@Jika demikian bahwa ada banyak PENCOBAAN adalah merupakan buah dari desakan keinginan manusia, apa yang harus saya lakukan sebagai seorang yang percaya pada Tuhan? Jawaban Yesus atas orang Farisi dalam Injil hari ini sekurang-kurangnya seara implisit memberi satu jawaban bagi kita. Saya bukan saja percaya pada Tuhan. Saya percaya pada Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Belaskasih. Namun, apalah artinya ketika Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Belaskasih ini susah saya temukan di dalam hidup harianku? Saya membayangkan jika ketika saya sedang dalam penderitaan yang luar biasa oleh karena ketakberdayaanku di hadapan keinginan manusiawiku yang menyeretku pada penderitaan itu, dan pada saat itu saya kehilangan keyakinan bahwa ada Tuhan yang sedang menolongku, apa yang harus saya lakukan? Saya mungkin menjadi dis-oriented / kehilangan arah dan harapan. Ini mungkin saja terjadi!
@Namun kemungkinan untuk masuk dalam situasi “ disoriented ” /kehilangan arah itu dapat diminimalisir hanya jika saya belajar dari apa yang ditegaskan Yesus di dalam Injil hari ini. Orang-orang Farisi yang sedang berusaha mencobai Yesus adalah orang-orang yang kehilangan arah hidupnya. Mengapa? Ya, karena Yesus secara perlahan membongkar keyakinan-keyakinan lama- mereka. Yesus memberikan pilihan-pilihan baru atas cara hidup yang didasarkan pada penafsiran baru atas hukum Taurat. Permintaan mereka kepada Yesus untuk diberi tanda adalah satu bukti bahwa mereka sedang “tergoncang’ oleh karena kehadiran dan ajaran Yesus yang sudah turut membongkar kemapanan mereka di dalam keyakinan-keyakinan lama dan praktek-praktek keagamaan yang didasarkan atas keyakinan lama dimaksud dan atas kepentingan-kepentingan kelompok atau golongannya masing-masing. Lebih fatal, orang-orang Farisi yang diseret oleh keinginan manusiawinya untuk berkuasa dan kecenderungan memanipulasi ajaran-ajaran demi kepentingan kelompoknya, menjadi buta terhadap kehadiran Tuhan Yesus di tengah mereka. Yesus sendiri bukan lagi TANDA atau media yang menghadirkan Allah. Yesus sendiri adalah Allah. Dia – Allah sedang hadir di tengah-tengah mereka. Keinginan manusiawi kaum Farisi inilah yang membuat mereka manjadi “TIDAK PEKA” atau BUTA terhadap kehadiran Tuhan sendiri.
@Generasi kita tentu berbeda. Orang Farisi tentu jauh lebih beruntung karena mereka hidup di jaman Yesus. Sialnya, mata hati mereka tidak bisa menangkap kehadiran Tuhan dalam diri Putera-Nya. Untuk kita, Ekaristi adalah warisan suci yang mesti kita syukuri. Di dalam Ekaristi, kita mengalami kehadiran yang NYATA – bukan kehadiran sebuah TANDA. Pertanyaan yang mungkin perlu kita renungkan: apakah kita sungguh percaya akan kehadiran NYATA Tuhan sendiri di dalam Ekaristi atau di dalam Sakramen Maha Kudus? Jika kita sungguh yakin, mari kita saling mengajak untuk datang kepada-Nya setiap saat – setiap hari, terlebih ketika kita berhadapan dengan berbagai macam PENCOBAAN di dalam hidup. Kita saling mendoakan, semoga Allah menganugerahkan kita kepekaan akan kehadiranNya di tengah-tengah hidup dan karya kita. Semoga kita semakin peka akan kehadiranNya terlebih ketika kita ada di dalam PENCOBAAN oleh karena keinginan-keinginan manusiawi: kemesraan, persaudaraan, kekayaan, kenikmatan, kekuasaan, dst. Semoga Tuhan memberkati kita dalam setiap usaha kita untuk menjadi peka akan kehadiran-Nya di tengah-tengah hidup kita. Have a blessed day filled with love and mercy. Warm greetings to you all… . padrepiolaweterengsvd…🙏🏼 🙏🏼🙏🏼🙏🏼
Dari Stasi Pinggiran St. Petrus Kalar-Kalar, Aru Selatan Barat “Ketika ada jedah lagu, tiba-tiba gadis…
EMBUN ROHANI PAGI DARI KOTA MUTIARA DOBOJumat, 22 November 2024Injil: Luk. 19 : 45 -…
EMBUN ROHANI PAGI DARI STASI FERUNI, PULAU TRANGAN, ARU SELATANKamis, 21 November 2024Injil: Luk. 19…
EMBUN ROHANI PAGI DARI STASI SALAREM, KEPULAUAN ARURabu, 20 November 2024Injil: Luk. 19 : 11…
Selasa, 19 November 2024Injil: Luk. 19 : 1 - 10 EMBUN ROHANI PAGI DARI STASI…
EMBUN ROHANI PAGI DARI STASI BELTUBUR, KEPULAUAN ARUSenin, 18 November 2024Injil: Luk. 18 : 35…