“’Soft despotism’ gaya Indonesia”

Penulis: RD. Alex Lesomar

Pastor mahasiswa yang sedang mengambil doktoral bidang filsafat di Polandia.

Alexis de Tocqueville menyebutkan salah satu penyakit masyarakat moderen yang demokratis adalah Individualisme. Pengaruh individualisme telah merambat pada semua aspek kehidupan. Dalam aspek politik dan ekonomi, masyarkat individualis hanya mementingkan kebutuhan hidupnya terjamin. Cukup tinggal di rumah dan sibuk dengan kerjanya; yang penting semua kebutuhan hidup dibantu dan disediakan pemerintah ditambah lagi infrastuktur dan fasilitas yang baik, itu sudah cukup memberi kepuasaan. Tidak perlu pusing hal-hal lain. Pada saat yang sama, sebenarnya, daya kritis dan kontrol masyarakat terhadap pemerintah telah diberanggus. Di sinilah munculnya “soft despotism” dalam masyarakat demokratis dimana, tanpa disadari rakyat, pemerintah telah hadir sebagai “tirani tanpa teror dan paksaan” dan memainkan sistem kontrol yang sangat kuat. Dalam masyarakat seperti ini Pemilu tidaklah berpengaruh signifikat. Yang terpenting adalah siapapun pemimpinnya, kebutuhan dan kepuasan hidup individu terjamin.

Masyarakat demokratis Indonesia mungkin tidak serta merta bisa diklaim sebagai masyarakat individualis. Tentunya, masih sangat jauh dari kondisi ini. Tampaknya, masyarakat Indonesia lebih gampang luluh hatinya dan berpikir positif terhadap siapa pun apalagi yang gemar memberi perhatian dan bantuan. Masyarakat Indonesia akan sangat menyanjung pihak-pihak (baik individu, lembaga, pemerintah) yang memberi bantuan bahkan mengidolakan mereka. Masyarakat akan membela mereka mati-matian. Situasi kebaikan masyarakat Indonesia ini adalah salah satu jalan masuk untuk menghadirkan “soft despotism.” Pemerintah kita, sepertinya, entah disadari atau tidak, memanfaatkan kondisi ini untuk menghadirkan suatu tirani tanpa teror dan paksaan. Untuk mendiamkan dan mengontrol masyarakat maka pemberian bantuan sosial digiatkan dan ditingkatkan. Pemerintah akan disanjung dan dicintai penerima bantuan sosial, sebagai pemerintah yang terbaik, meski mereka hanya menerima beberapa ratus (atau juta) rupiah dalam amplop dan beberapa bahan makanan dalam tas plastik. Apalagi bantuan-bantuan itu diantarkan langsung oleh sang pemimpin ke rumah-rumah pada malam hari dikawal sejumlah orang pembawa kamera untuk kepentingan dokumentasi dan pencitraan. “Luar biasa baik dan merakyat pemimpin kita di masa pemerintahan ini”; begitulah kira-kira ungkapan masyarakat penerima bantuan dan kita yang menonton via media sosial ataupun media mainstream. Selain bantuan-bantuan sosial, ada juga pembangunan infrastruktur yang masif di berbagai tempat. Rakyat tentu sangat senang dan bangga untuk semua pencapaian ini. Sayangnya, bantuan sosial serta pembangunan infrastrukur bukan pertama-tama untuk kebaikan dan kesejahteraan masyarakat tetapi ada maksud lain pula yakni pembentukan citra yang baik atas tirani politik dan ekonomi yang mulai dibangun. Pemberian bantuan sosial dan pembangunan infrastruktur adalah strategi mendiamkan sekaligus mengontrol rakyat. Ternyata dibalik proyek bantuan sosial dan infrastruktur ada juga projek “cinta diri, cinta keluarga dan cinta kroni-kroni.”

Ada ungkapan zaman Romawi kuno yang menarik dan tetap relevan: “untuk mendiamkan rakyat agar mereka tak berontak maka berilah mereka ‘roti dan sirkus.'” Roti untuk mengenyangkan perut dalam satu atau dua hari yang kemudian menjadi feses, dan sirkus yang menimbulkan kesan emotif sesaat berupa kekaguman dan bangga yang kemudian tidak menghapuskan sama sekali semua situasi kesusahan. Mengenai sirkus, kondisi indonesia agak unik, karena ranah politik kita sangat dihiasi peran sirkus entertaiment dari para relawan dan influencer untuk mempesonakan rakyat. Lihat saja diakhir kegiatan G20, KTT ASEAN, juga launcing LRT, penjajalan Kereta cepat, IKN, mereka menyuguhi sirkus yang membuat seluruh indonesia begitu bangga. Nyanyian dangdut dan lagu-lagu dari Timur Indonesia dijadikan sirkus untuk mempersonakan rakyat. Kita lupa bahwa di saat kita terbawa luapan kegembiraan itu ada misi-misi politik yang bergerak secara senyap. Misi itu berupa penciptaan citra populis yang sungguh-sungguh dekat dengan rakyat dan mengharumkan nama bangsa di kancah internasiinal tetapi di balik itu ada misi memuluskan pengaruh kekuasaan politik yang merupakah hasil perselingkuhan oligarki politik dan ekonomi. Indikasi yang kita saksikan sekarang adalah misi meloloskan putra mahkota sang pemimpin untuk mengikuti kontestasi Pemilu. Besar harapan rakyat pasti menerima dengan sukacita karena selama ini mereka sudah diberi roti dan sirkus.

Ternyata skenario soft despotism yang mulai dibangun lupa bahwa masih ada banyak anak bangsa Indonesia yang tetap berpikir kritis. Roti dan sirkus tidak membuat mereka cinta buta dan rakus. Cinta pada tanah air lebih agung dari pada cinta pemimpin yang tampak berkinerga baik tetapi bernafsu melanggengkan kekuasaan.

Salam