ANGKA KERAMAT 33: KEMATIAN DAN KEBANGKITAN

Angka 33 adalah umur kematian Yesus tapi sekaligus juga kebangkitan-Nya dari alam maut. Demikian pun penantian selama 33 Tahun kepada Bapa Uskup ini bagaikan kematian jiwa rohani kami, tapi hadirmu, Sang Gembala pada tahun ke-33 penantian kami ini menjadi moment kebangkitan jiwa kami dan Gereja Katolik di atas tanah gersang pulau Wetar ini.

Kami menyadari bahwa tempat kami adalah pulau terluar dan terjauh, bahkan mungkin dibaca nama dan dilihat letaknya saja dalam peta pasti sudah tidak menarik minat untuk ditelusuri. Tapi sejak berdirinya gereja Katolik di sini pada tahun 1990 yang dipelopori oleh beberapa karyawan perusahaan, kami tak pernah putus asa dan berhenti berdoa dengan harapan semoga suatu waktu para gembala apalagi semoga Sang Gembala Utama datang mengujungi kami.

Tahun demi tahun, akhirnya para gembala itu pun datang. Diawali dengan para gembala dari Timor Timur ketika masih bersatu dengan Indonesia, di mana ada Imam yang datang melayani kami karena memang lebih dekat bila dibandingkan dengan pulau Yamdena. Tahun 2007, kami akhirnya bisa menjadi sebuah stasi dan mulai membangun sebuah gedung gereja berkat kunjungan Pastor Rekan dari Kota Ssumlaki, RD. Vincent Fernatyanan. Bertepatan dengan kunjungan itu, ada acara penerimaan, pembaptisan dan pemberkatan beberapa pasangan nikah. Tahun 2010, tepat pada Hari Raya Maria Dikandung tanpa noda, yang nantinya dijadikan pelindung stasi ini, gereja baru pun diberkati oleh RD. Canis Lewar, pastor paroki baru. Pelayanan Misa rutin pun mulai dilakukan oleh para Pastor pada tahun terakhir ini setelah Bapa Uskup menambah tenaga Imam menjadi 2 orang; Setidak-tidaknya dari setahun hanya ada 2 atau 3 kali Misa menjadi setiap bulan ada pelayanan Misa.

Waktu pun berlanjut sampai tiba tahun lalu, 2022 di mana kami mendapatkan berita gembira dari Pastor Paroki bahwa stasi kami ini akan dikunjungi oleh Gembala Utama Keuskupan, Bapa Uskup pada tahun ini: “Seakan tak percaya karena untuk pertama kalinya seorang Uskup mengunjungi kami, umat kecil yang terpinggirkan ini. Terima kasih Bapa Uskup karena telah rela datang dan tinggal bersama kami selama 5 hari yang penuh rahmat ini; suatu rentang waktu yang terhitung tak singkat di mata kami bila mengetahui betapa sibuknya Bapa Uskup yang mengurusi domba-domba yang tersebar di Provinsi seribu pulai ini. Sungguh, peristiwa ini akan menjadi catatan sejarah yang tak terlupakan bagi kami dan anak cucu kami bahwa seorang Uskup rela meninggalkan kota dan istananya untuk datang dan tinggal bersama kami di tempat yang sederhana dan buruk signal ini. Kalau pun kunjungan berikut mungkin dalam rentang puluhan tahun, tapi kami akan mengisahkan cerita ini kepada anak cucu kami bahwa hari ini dan selama hampir seminggu, Bapa Uskup rela tinggal bersama kami, makan apa yang kami santap, merasakan apa yang kami domba-domba kecil ini rasakan, dan turut menghirup sedikit aroma kerasnya kehidupan di atas tanah yang gersang ini.”

Suasana kegembiraan dan sukacita ini tidak hanya dirasakan oleh umat Katolik, tapi oleh semua masyarakat ibu kota kecamatan ini, yang larut dalam sukacita dan kegembiraan dengan cara mengarak rombongan Uskup mengelilingi kota mereka. Masuk dan diterima oleh Ibu Pendeta GPM di dalam gereja dan disambut oleh umat Muslim di depan Masjid adalah ungkapan sukacita dan kegembiraan yang terpancar dari wajah-wajah polos yang terbakar panas terik matahari, tapi mereka tetap menari dan berjalan mengiringi rombongan di atas jalan aspal yang panas.

Sukacita dan kegembiraan hari pertama ini pun akhirnya ditutup dengan santap siang bersama dalam suasana persaudaraan yang kental. Sangat terasa bagaikan surga di atas gersangnya pulau Wetar.

Ditulis kembali oleh: Mgr. INNO NGUTRA