Siang itu, dengan menumpang mobil Danramil, yang adalah seorang Katolik dari Timor Leste dan sudah menjadi warga NKRI, kami melintasi bukit dan lembah pulau Wetar dari ujung Utara menuju Selatan. Inilah satu-satunya jalan nasional yang hanya bisa menghubungkan 2 desa, sementara 21 desa lainnya harus digapai melalui laut; Sebuah daerah perbatasan yang hanya bernasib indah dalam undang-undang tapi terabaikan dalam faktanya.
Sepanjang perjalanan itu, nampak beberapa bukit yang sudah gundul karena galian perusahaan untuk mendapatkan emas dan hasil bumi lainnya, pun ada danau di atas pegunungan yang tenang airnya, yang diam bagaikan diamnya mulut masyarakat pulau Wetar yang tidak mengeluh terhadap nasib mereka.
Setelah hampir sejam lebih perjalanan, akhirnya kami tiba juga di tempat tujuan, desa Ilwaki, di mana hanya ada 10 KK Katolik yang hidup di antara mayoritas jemaat Gereja Protestan Maluku. Harus diakui dan pantas diapresiasi karena Jemaat GPM di semua pulau di Kabupaten Maluku Barat Daya ini sangat terbuka, ramah dan melindungi kelompok beragama yang minoritas seperti Gereja Katolik. Keramahan jemaat GPM ini sangat nampak dalam hal izin dan hibah tanah dari keluarga-keluarganya, yang didukung oleh para pendeta demi pendirian gedung gereja Katolik; Suatu tindakan terpuji yang kurang bahkan tidak ditemukan di kabupaten dan pulau-pulau lain di Indonesia.
Perjumpaan dengan kelompok Jemaat kecil ini sungguh menghadirkan keharuan sekaligus kebanggaan. Dalam tatap muka dengan mereka, seorang anggota jemaat berkata: “Bapa Uskup, walaupun kami belum memiliki gedung gereja, tapi kami tetap hidup bagaikan jemaat Gereja Perdana yang beribadat dari rumah yang satu ke rumah lainnya, karena kami menyadari bahwa Gereja yang sesungguhnya adalah diri dan semangat kami. Kami tetap bangga sebagai orang Katolik apalagi hari ini, Bapa Uskup datang sebagai Uskup pertama yang mengunjungi kami di sudut perbatasan Indonesia ini. Maka mulai saat ini, kisah ini akan terukir mati di lubuk hati kami, yang akan kami tuturkan kepada anak cucu kami.” Setelah menyantap ikan bakar dan ikan kuah bening di bibir pantai Selatan yang persis berhadapan dengan Timor Leste itu, kami pun kembali ke Stasi Lurang di pantai Selatan di mana kami menginap.
Pada Misa Minggu pagi, saya kembali menguatkan jemaat di pulau Wetar, termasuk jemaat kecil dari Ilwaki bahwa 3 tahun kemudian ketika saya akan kembali ke pulau Wetar maka saya ingin memberkati gedung gereja di stasi kecil ini. Karena itu, sekarang mari kita sama-sama menyiapkan bahan untuk membangun sebuah kapel kecil untuk kalian seperti apa yang dibuat oleh orang-orang Israel yang tercatat dalam Kitab Hagai bahwa ketika mereka selesai membangun sebuah rumah untuk Yahweh maka Ia akan menggoncangkan langit sehingga turunlah berkat-berkat untuk orang Israel.
Selesai Misa, jemaat kecil tanpa gedung gereja itu datang dan menyatakan tekad mereka untuk menyiapkan lahan dan semua material yang mereka bisa dapatkan untuk membangun sebuah kapel sebagai rumah doa untuk Tuhan mereka.
Aku hanya berharap dan berdoa semoga di tahun ke – 3 dalam kunjungan berikutnya, kerinduan jemaat kecil ini untuk memiliki sebuah kapel bisa terwujud. Tuhan pasti menggerakan banyak orang untuk membantu mereka ketika mereka berdoa dan berserah kepada Tuhan.
Ditulis kembali oleh: ( Mgr. Inno Ngutra: Minnong -Duc In Altum )