REQUIESCAT IN PACE.
Romo John Mansford Prior, SVD
@ Biara Simeon Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, Flores – NTT.
Sabtu, 02 Juli 2022 (Pukul 06.30 WITA)
Imam Misionaris SVD asal Inggris, yang membaktikan seluruh dirinya untuk tanah misi Flores, NTT, Indonesia. Seorang Imam sekaligus Misionaris, Dosen dan Pemerhati Sosial.
Romo John Prior adalah seorang teolog penting abad ini di wilayah Asia Pasifik. Pendiri Gereja Centrum Maumere, Paroki Wolofeo dan beberapa gereja paroki lainnya di wilayah Keuskupan Maumere ini adalah pelopor Program Magister Teologi IFTK (STFK) Ledalero. Beliau konon adalah icon program Pasca Sarjana Teologi di Ledalero yg terkenal dengan Teologi Kontekstualnya.
John Mansford Prior sendiri lahir dari pasangan Vincent Thomas Prior dan Kathleen Mary Mansford di Ipswich, Inggris, pada 14 Oktober 1946.
Anak laki-laki kelima dalam keluarga ini menempuh studi Filsafat dan Sosiologi di Donamon Castle, Irlandia (1965-1968), Teologi dan Antropologi Sosial di Missionary Institute London, Inggris (1968-1972), meraih gelar Graduate Diploma in Religius Education dari Universitas Cambridge, Inggris (1973), lalu PhD dalam Teologi Interkultural dari Universitas Birmingham, Inggris (1987).
Pemakalah dalam lebih dari 165 Simposium, Konferensi dan Lokakarya ini pernah menjabat sebagai Pontifical Council for Colture-PCC (Penasihat Dewan Kepausan untuk Kebudayaan) selama 15 tahun (1993-2008).
Adapun PCC ini didirikan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1982. Beliau juga mendampingi Musyawarah Umum (Kapitel) beberapa Tarekat Biarawan/wati di kawasan Asia, dan retret bagi Imam, Religius, dan Awam.
Selain menjadi Anggota Dewan Penyunting Asians Horizons (Bangalore, India) sejak 2014 hingga kini dan Anggota Dewan Penyunting Asians Chsristians Studies (Chennai, India) sejak 2016 hingga kini, Pastor dan Biarawan Societas Verbi Divini-Serikat Sabda Allah (SVD) ini juga menjadi Dosen di ST Atma Reksa, Ende (1990-1997), Dosen tamu di Yarra Theological Union Melbourne, Australia (1990-2009), Dosen tamu di STKIP St. Paulus Ruteng (1993), Dosen tamu di STFT Fajar Timur, Abepura (1996), Tamu Akademik di Melbourne Univercity, Australia (1997-2009), Dosen tamu di Catholic Theological Union, Chicago (1998), Asosiat Peneli Monash University, Australia (2007-2009), Peneliti Kehormatan Melbourne University of Divinity, Australia (2011-kini), Dosen tamu Program Pascasarjana Universitas Kristen Maluku (2014), Staf Pengajar dalam Forum Teologi Asia, Manila (2015), dan Staf Pengajar dalam Kursus Pembaruan di EAPI, Manila (2020).
John adalah penulis banyak buku, 145 artikel dalam jurnal (44 artikel diterbitkan dalam dua hingga enam bahasa), 79 bab dalam buku bunga rampai (ditambah 28 bab yang pernah terbit sebagai artikel dalam jurnal -total 104 bab dalam bunga rampai), peyunting 47 buku (38 dalam bahasa Indonesia, delapan dalam bahasa Inggris, dan dua dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Masing-masing dari enam buku tersebut terbit dalam dua atau lebih jilid).
Mungkin tidak banyak orang tahu, perjalanan panjang yang pernah ditempuh Pastor/Pater/Romo John Prior SVD ini ke Indonesia.
Penerbangan “marathon” pertama ditempuh Romo John Prior langsung dari London (Inggris) menuju Jakarta. Waktu tahun 1970-an baru ada pesawat Boeing 747 yang bisa membawa ratusan orang penumpang. Romo John mendarat selamat di Jakarta.
Karena tujuan terakhirnya adalah Flores di NTT, maka Romo John Prior SVD lalu meneruskan perjalanan terbangnya dengan pesawat lokal Indonesia. Dari jumbo jet Boeing 747 beralih ke pesawat kecil jenis Fokker F-28. Waktu itu baru ada F-28.
Romo yang adalah ahli sosiologi dari Inggris ini pun berhasil mendarat mulus di Bandara Ngurah Rai, Denpasar Bali.
Berikutnya adalah terbang dari Bali menuju Maumere, satu-satunya bandara yang eksis di NTT pada era tahun 1970-an. Romo John lalu terbang menaiki ‘adiknya’ Fokker 28, yakni F-27 dengan baling-baling. Bisa dibayangkan, pada waktu itu kondisi pesawatnya seperti apam
Nah, Romo SVD ini pun berhasil mendarat mulus di Bandara Maumere. Perjalanan ternyata masih jauh di depan. Bersama penduduk local, maka Romo John Prior pun harus rela naik ‘bus kayu’. Dalam kosa kata orang Flores waktu itu, yang dimaksudkan ‘bus kayu’ tak lain adalah truk terbuka dimana tempat duduknya berhadap-hadapan dengan papan kayu. Tanpa alas lebih empuk.
Perjalanan dari Maumere menuju kota dimana nanti romo misionaris ini akan ditempatkan ternyata makan waktu berjam-jam. Setelah tiba di kota kecamatan, masih harus jalan kaki melewati alur jalan setapak di perbukitan.
Jadi, ceritanya Romo John yang baru saja datang dari Inggris langsung dari London-Jakarta-Bali-Maumere kali ini harus rela memanggul kopernya sendiri, berjalan mengikuti alur jalan pedesaan di kawasan perbukitan. Beliau terbang marathon dan kini setelah naik ‘busk kayu’ berjam-jam masih harus memanggul kopernya menuju sebuah paroki desa.
Kisah ini menarik karena ingin menggambarkan betapa harus militant-nya seorang pribadi yang bekerja tanpa kenal lelah dan tak mau berfokus pada balas jasa. Ia bekerja demi Tuhan dan Gereja, bukan demi popularitasnya sendiri. Ia berjuang melaksanakan semangat berbelarasa dengan sekitarnya.
Pagi kemarin, 1 Juli di tahun 2022 ini, wajah sang misionaris ini tampak kemerahan. Sepertinya ia barusan mendayung sepeda atau renang di laut. Jantungnya tetap berdebar kuat. Dahinya memerah dengan suhu tubuh yang meningkat.
Namun, sejak seminggu yang lalu, matanya tidak terbuka lagi. Suaranya yang khas telah lama menghilang. Apalagi kesadarannya. Melihat dia di pagi yg cerah ini, rasanya kita sedang berada dalam pertentangan: John berdiri di ambang batas.
Pada tahun 2008, ia menulis sebuah karya penting “Berdiri di Ambang Batas: Pergumulan Seputar Iman dan Budaya.” Pada bagian pengantar dia seolah sedang menarasikan dirinya bahwa “seorang pewarta lintas budaya mesti membuka diri pada tapal-tapal baru …” (Prior, 2008). Senjata John untuk berdiri di tapal baru adalah kasih. Hari-hari ini, kekuatan kasih itu mengendap di dalam tubuh yang lunglai. Ia berbaring di tempat tidur dengan kondisi yang tak berdaya. Yang ada padanya hanya iman dan harapan.
Keyakinannya adalah tetap “berkelana ke dalam keseluruhan kosmos sebagai Penziarahan tanpa sandaran dan sanggaan.” (Ibid, 204). Di biara Simeon itu, John terbaring tanpa sadar. Dia berada tanpa sanggaan yang eksistensial, dan sandarannya pada kekuatan diri, kini menghilang.
Namun, kekuatan iman dan pengalaman kasih telah cukup baginya untuk menerobos batas eksistensial itu agar ia sanggup menuju yang transenden. John… kuat selalu! Kami bersamamu di ambang batas ini.
Going home,
I am going home
Quiet like some still day
I am going home
It’s not far, just close by
Through an open door
Work all done, care laid by
Never fear no more
Mother’s there expecting me
Father’s waiting too
Lots of faces gathered there
All the friends I knew
No more fear, no more pain
No more stumbling by the way
No more longing for the day
Going to run no more
Morning star lights the way
Restless dreams all gone
Shadows gone, break of day
Real life has begun
There’s no break, there’s no end
Just a living on
Wide awake with a smile
Going on and on
Going home,
I am going home
Shadows gone, break of day
Real life has begun
I’m just going home
Tuhan memberkati & Bunda merestui
NB:
P. John Mansford Prior, SVD
Lelaki yang berwajah ramah itu keluar dari rumah. Ia membawa sebuah ember dengan pakaian di dalamnya. Gratis baru selesai mencuci sendiri pakaiannya. Ia mencari tempat penjemuran.
Tak lama sebelum itu, masuk kembali ke rumah. Dan ketika memandang tamu-tamu di rumahnya, ia tersenyum-senyum. Tamu-tamunya juga tersenyum. Dengan suara pasti, ia menyalami mereka. Lantas percakapan singkat yang sudah terjadi di Pusat Penelitian Agak dan Kebudayaan, Candraditya. Udara kota Maumere yang panas itu menambah ‘panas’ percakapan. Tak ada diskusi yang berat. Percakapan yang santai dalam situasi menantikan pentahbisan Uskup Maumere.
Pater Dr. John Prior, SVD (seperti biasa kalau bertemu) turut memantik percakapan. Dan yang selalu pasti adalah tentang karya misi. Tempat tugas. Dan nanti kalau sudah dijawab, dilanjutkan dengan misalnya, bagaimana orang di … dst. Bergudang pertanyaannya dan setiap jawaban akan selalu didengarnya dengan teliti dalam hening. Ia tidak akan pernah menyelahkan selama ada keterangan dan penjelasan yang perlu. Tapi, ia tidak akan diam kalau ada hal yang tidak jelas. Serius tapi relaks.
P.John adalah salah satu pembicara dalam pertemuan SVD global via zoom online yang diprakarsai oleh Kantor Pusat SVD di Roma, menjawab tantangan pandemi Covid-19. Tema yang ditujukannya adalah Menjangkau Orang-orang Miskin dan Hak-hak Mereka. Bahan presentasi yang didiskusikan sudah dikirim sebelumnya kepada semua peserta untuk dibaca dan sudah tentu jadi bahan dalam diskusi online itu. Penulis mengambil secuil dari naskah itu dalam tulisan ini.
Tibalah John mempresentasikan papernya. Hanya sekitar 15-20 menit diberikan atau malah kurang. Kemudian dibuka sesi tanya jawab dari kertas kerja yang sudah disampaikan, termasuk dari John. Tidak ada yang bertanya seputar papernya. Para bekas murid-muridnya yang sedang bekerja dan berkelana di mana-mana sebagai misionaris dari Serikat Sabda Allah di lima benua, juga tidak. Mungkin mereka sudah mengenal “Moat Gete” ini dengan baik, yang selalu menyajikan materi menarik sekaligus menantang dan penting dibawa dalam refleksi. Ini tidak berarti bahwa John tidak ingin berdiskusi. Mustahil tidak ada percakapan dengan John jika bertemu! Mantan Pastor dari kampung Wolofeo ini selalu menantang dan bikin panas, bahkan bisa sampai panas sekali tapi itu artinya, semua yang dibuat panas memiliki sesuatu dalam dirinya.
Dengan kata lain, ia menguatkan orang lain, teman bicara melalui dan dalam dialog. Jadi, kalau orang bicara, saya akan petik buahnya dan kembalikan buah yang dihasilkan sendiri kepada pemiliknya.
Metode dialognya beragam sekali. Tak ada yang tunggal. Atau dialog untuk dialog saja. Dialog lebih luas dari pertukaran verbal. Bagi John, dialog untuk mencapai praksis dan tindakan nyata. Bukan asal omong. Maka, John amat peduli dan terlibat dengan orang kecil dan tersingkirkan.
Dari perhatian inilah ia mengupas dan menganalisis secara kritis dan tajam dalam mengajarkan refleksi teologis yang, kontekstual, tepat sasar, dan manusiawi. Dalam papernya Prof. dari Ledalero itu menyajikan salah satu tugas pelayanannya sebagai kapelan di penjara, selain kapelan bagi para penyintas HIV dan pengidap virus yang mematikan itu.
John menjelaskan dan berbicara singkat, jelas dan padat. Dalam papernya itu, ia menulis: “Dalam Ekaristi Mingguan dan Sharing Bible hari Selasa kami, para narapidana mendapatkan keberanian untuk membuka topeng mereka, belajar untuk tidak mencari alasan, menemukan bagaimana menghadapi diri mereka sendiri dengan jujur, dan menerima diri mereka apa adanya.”
Nah, jika orang-orang tersebut dapat menemukan proses dan transformasi, maka orang-orang di luar menemukan juga atau malah menemukan penemuan transformasi itu. masyarakat di luar penjara lebih bebas, tanpa takut berdalih. Dapat dikatakan dengan cara lain. Jika penjara masuk penjara atas alasan hukum, mengapa justru masyarakat di luar penjara bisa membiarkan perdagangan manusia jalan lancar, larangan masuk kantong koruptor dan kantong rakyat yang dibantu, para korban stigmatisasi PKI yang terus menerus dibully secara arogan, arogansi atas minoritas , dan sebaran hoax, black campaign, dst.
Jadi, John tidak berteologi sosial saja. Ia berteologi untuk bertransformasi. tujuan pengajaran teologi adalah untuk transformasi. Yang satu tetap menjadi subjek akal. Ia tetap menjadi subjek dari keahliannya dan membawakan orang lain menjadi subjek bagi dirinya.
Mari kita lihat satu lagi sebagai berikut. John amat sangat melihat dan akan terus melihat dengan jelas, guncangan-guncangan maut yang mencakar. Membaca John, saya berkesan dan setuju bahwa teologi harus transformatif. Sebab, tanpa daya itu: “…Teologi seperti itu terdiri dari rumusan-rumusan baku yang diturunkan dari atas untuk menata serta menertibkan Gereja. Pengertian ini mewartakan sebuah allah yang membosankan, dan allah yang membosankan mengantar orang untuk sikap apatis-tak peduli yang sering dalam hati seseorang yang kerdil lagi takut.” (Ledalero 2009)
Teolog Hans Urs von Balthasar mengatakan, jika seseorang berdoa baik, ia akan peduli dengan orang miskin. intinya, tanpa kesadaran (kritis) menuju transformasi, kita akan jalan di tempat dan lengket dengan status quo, apatis-tak peduli dalam bahasa John. Ironisnya, transformasi bisa terjadi di penjara. Orang di penjara bisa berubah jadi baik. Orang ‘bersih’ di luar penjara harus luar biasa!
Transformasi dengan begitu membuktikan adalah hidup. Tidak hanya sebuah proses dan budaya.
Mengikuti John, akan sangat menarik diperhatikan ketika transformasi terjadi dalam misa dan berbagi Kitab Suci. Kita tidak tahu bagaimana perubahan itu terjadi dalam diri seorang napi, seperti ketika roti berubah jadi Tubuh Kristus dan anggur jadi Darah Kristus. Jadi, Kristus sendiri yang mengubah seorang tahanan! Atau dalam berbagi Kitab Suci. Siapa yang membisikkan para napi tentang Sabda yang telah menjadi daging. Maka, semua manusia sama di hadapan Allah.
“Jadi, dengan kejujuran yang meningkat, mereka bersiap untuk menghadapi dunia sekali lagi ketika mereka akhirnya dibebaskan.” Sambungannya di artikel itu. (penulis: Dengan kejujuran yang bertambah, mereka siap untuk hidup lagi di dunia di luar penjara sekali lagi ketika mereka dibebaskan).
Kita belajar dari John bahwa tranformasi menguatkan dan membawa arah hidup. Ia melewati jalan-jalan terjal, bahkan perlawanan sekalipun, tapi tidak lenyap. Ia rapuh tapi bebas.
Tepat bahwa John mengajak kita untuk tidak jalan jauh-jauh. Kita mencari Allah di dalam dan dari dalam. Transformasi berawal dari bathin yang bebas menerima ilham Ilahi, menuju pertobatan sebagaimana disuarakan Yohanes Pembaptis. Santu Agung Paus Yohanes Paulus II mengatakan, yang paling menggembirakan dalam karya misioner adalah konversi atau pertobatan.
Pertobatan bukan jalan balik haluan, apalagi nostalgia. Menurut John, “Transformasi menyangkut bentuk dari apa yang hakiki: budi dan jiwa.” Ia adalah jalan untuk menemukan. Seperti jalan dari Wolofeo menuju segala arah. Selamat Jalan!