KOMUNITAS YANG MENGIKATKAN DIRI DALAM PERSAUDARAAN : Sebuah Refleksi untuk hidup imamat.

RD. Andreas Sainyakit

Bagi para imam, hidup berkomunitas menjadi penting karena menunjuk pada 4 hal mendasar. Pertama, hal yang lebih spiritual: yaitu fraternitas, kolegialitas,“persaudaraan” atau “persekutuan persaudaraan”, yang berasal dari hati yang dijiwai oleh cinta kasih. Hal ini turut menggarisbawahi “persekutuan hidup” dan relasi antarpribadi sebagai imam. Kedua, yang lebih kelihatan: “hidup dalam kebersamaan” atau “hidup berkomunitas”, yang terdiri dari “hidup di dalam rumah biara, rumah Unio atau rumah pastoran yang dibentuk secara yuridis” dan dalam “menjalani hidup bersama” melalui kesetiaan pada norma-norma/regulasi yang sama, dengan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan bersama, dan kerja sama dalam pelayanan bersama. Ketiga, komunitas yg diwarnai dengan komunikasi, relasi, dan interaksi satu sama lain dalam kasih persaudaraan. Benarlah bahwa
Komunitas yang mengikatkan diri di dalam persaudaraan, hendaknya juga terbuka dan menghargai dialog, penuh pertimbangan serta peka tidak saja terhadap kata-kata, akan tetapi juga terhap pelbagai sikap dasar dan prilaku komunikasi yang dibutuhkan dalam membangun komunitas. Seorang komunikator hebat, St. Ignatius dari Loyola, mensharingkan kepada para imam Jesuit sebuah sikap dasar yang mesti dihidupi dalam komunitas, yakni menghargai dan menghormati setiap konfraternya sebagai individu. Sikap itu ditampakan melalui hal-hal seperti: keterbukaan, kerendahan hati, kasih dan kesabaran, penghargaan, mendengarkan, kepercayaan, perhatian terhadap perbedaan sesama dan mengatakan kebenaran dalam kasih: “ masuk melalui pintu orang lain”. Keempat, Sumber hidup berkomunitas juga ada pada intimitas dengan Kristus yang memanggil, yang dibangun melalui keheningan (silence) dan doa ( prayer), mendengarkan Firman ( Listening) dan Ekaristi. Dalam doa dan Keheningan setiap imam dibantu mendengarkan kehendak Dia yang memanggil dan mengungkapkan sukacita dan kegembiraan, kesulitan dan tantangan, kerinduan serta harapan. Dalam Firman, seorang imam mendapatkan terang atau cahaya yang menuntunya dalam jalan, kebenaran dan hidup. Di dalam Ekaristi, seorang imam belajar untuk menjadi roti yang terpecah-pecah dan darah yang tercurah untuk hidup banyak orang. Dia ada untuk memberi diri dalam cinta bagi semua orang.

Salam dari Bukit Bantik Pineleng !