Kemendesakan Mempersiapkan Warga Gereja yang berselancar bebas dalam Media Sosial(1-2 inspirasi etis dokumen Gereja dan Internet)

Kalau rumah sosialitas, tempat kita hidup di masa kini disebut sebagai masyarakat informatif, maka pilar utamanya tak lain adalah internet. Ia hadir sebagai temuan mutakhir di bidang komunikasi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ia menghadirkan sosialitas nyata di dalam ruang virtual dalam kesamaan bingkai, disini dan saat ini.

Kata Antonio Spadardo mengutip kata-kata Paus Emeritus, Benediktus XVI,”Dunia virtual bukanlah sesuatu yang berbeda dengan dunia keseharian. Isinya sama.” Karena itu, interaksi sosial menjadi lumrah disini bahkan di dalamnya kebudayaan baru dapat ditemukan.
Bila masyarakat agrikultur mewarnai dirinya secara dominan dengan corak bercocok tanam, masyarakat industri dengan ramainya jalur-jalur industrialisasi maka masyarakat informatif mewarnai dirinya dengan pertukaran informasi. Warga masyarakatnya secara dominan berlomba-lomba tampil menjadi produsen berita. Semua yang terdata dipakai menggerakan manusia dan mengatur progres dinamika masyarakat.

Kelengkapan sarana-prasarana alat komunikasi dipakai secara maksimal untuk menemukan, mengolah, mengkreasi informasi dan sesegera mungkin mendistribusikannya. Kerja, norma hukum, relasi dan data tersistematisasi dan itu diatur sebagai corak khas kehidupan masyarakat ini. Tak perlu disini menyebutkan secara sangat laju dimensi futuris dari kenyataan ini, atas kata-kata seorang sejarawan besar Yahudi, Yuval Noah Harari, yang meramalkan bergesernya faktor inti terdalam hidup manusia dari human feeling sang homo sapiens kepada alogaritma biokimia data itu sendiri, dimana ke depannya, segala sesuatu tentang penentuan hidup manusia diatur secara saksama dan detail oleh serangkaian data ini. Pertukaran informasi warga dunia terakumulasi dalam komputasi jejaring mutakhir lalu menjadi modal pendirian otoritas tertinggi menentukan sosialitas hidup masyarakat dunia.

Teks dan konteks besar di atas itu lalu membuat kita mengerti tentang apa yang juga dialami di dalam kehidupan warga Gereja. Dimana-mana, kita sendiri berlomba-lomba untuk eksis, tampil dan begitu adaptif menggauli makhluk yang punya nyawa agak lain dari kita, yakni internet ini. Ia memungkinkan kita mempublikasikan apa saja yang kita mau tentang diri kita sendiri, orang lain, peristiwa yang dekat dengan hidup kita bahkan teks kuno yang punya arti merubah dunia dan lain sebagainya. Ia membuat kita menjadi jurnalis tanpa masuk dalam sekolahnya dan tanpa masuk melamar kerja di kantor-kantornya. Ia bahkan bisa membuat seseorang tampil viral melalui tik-tok pribadinya mengabarkan peristiwa ketabrakan beruntun di Kalimantan dibanding stasiun tv mainstream di negara kita. Ia bisa membuat kejadian pertemuan seseorang dengan Paus Fransiskus lebih tersebar luas dengan cepat melalui medsos yang dipakainya dibanding Majalah Hidup yang mungkin sebulan kemudian baru memuat kejadian itu. Ia bahkan tampil memungkinkan seseorang menjadi katekis tanpa perlu sekolah karena secara kreatif berhasil menemukan dan mengemas ajaran iman dalam paket yang menarik dan disiarkan di sebuah chanel YouTube.

Menghadapi laju perkembangkan masyarakat informatif ini, apa kiranya respons Gereja? Pertama, Gereja sejak awal menerima perkembangan di bidang teknologi komunikasi ini secara positif sebagai salah satu anugerah Tuhan (bdk. Communio et Progressio no. 2). Kedua, Gereja tidak tutup mata dengan adanya pengaruh atau dampak negatif penggunaan internet ini. Ketiga, Gereja sadar bahwa pemanfaatan sarana komunikasi perlu juga bagi evangelisasi. Bila Gereja ingin menginjili dunia maka Gereja sadar ia harus turun ke tengah-tengah pilar hidup manusia. Gereja yang bergerak, turun dan berkomunikasi adalah Gereja yang sementara merealisasikan siapa dirinya. Gereja, pada hakikatnya adalah misi atau komunikasi itu sendiri. Gereja yang tidak bermisi atau tidak membangun komunikasi justru mematikan identitasnya sendiri yang hadir untuk mewarta.

Kesadaran Gereja tentang laju perkembangan penggunaan internet ini mengantarkannya untuk tiba pada paham bahwa media komunikasi sosial justru sangat membantu untuk menyegarkan hati dan mengembangkan budi serta untuk menyiarkan serta memantapkan Kerajaan Allah. Gereja makin sadar bahwa internet telah membawa perubahan mendasar dan signifikan dalam perdagangan, pendidikan, politik, jurnalisme, hubungan antarbangsa dan budaya. Perubahan yang dibawa serta ini bukan saja menyangkut cara orang berkomunikasi melainkan dalam cara mana mereka memahami hidup mereka sendiri. Karena itu, Gereja hadir mendorong perkembangan dan penggunaannya yang tepat demi kemajuan manusia, pencapaian nilai-nilai universal dan Injili dari taraf hidup manusia di pelbagai sektor dan tingkat kehidupannya.

Gereja terus hadir mengupayakan terbentuknya kebaikan bersama dalam semangat solidaritas. Gereja terus aktif membangun dialog agar makin memahami media komunikasi (tujuannya, prosedurnya, bentuk dan jenisnya, struktur di dalam dan metodenya) dan juga memberikan dukungan dan dorongan bagi mereka yang berkecimpung dan bergerak di bidang ini. Dengan begitu, Gereja turut membangun horison kebijakan penggunaan media dalam tataran sosialitas manusia.
Tidak hanya berhenti disitu, Gereja juga menaruh perhatiannya pada komunikasi di dalam dan oleh Gereja sendiri. Gereja sadar akan manfaat dan keuntungan media komunikasi sosial yang dibawaserta dari kekuatan internet. Ada pertukaran berita tentang peristiwa, gagasan dan tokoh keagamaan di dalamnya. Media ini memungkinkan orang untuk berevangelisasi, berkatekese bahkan beribadah. Ia pun tampil memberi akses pada sumber-sumber penting keagamaan, yakni tempat ziarah, perpustakaan, dokumen dan tulisan lainnya. Namun serentak disadari pula ia turut mewarnai komunikasi warga Gereja dalam memberi informasi, pandangan dan membagikan pengalaman secara langsung, seketika dan menjangkau khalayak umum.

Efek yang ditimbulkan dari cara orang dan pelbagai kalangan di dalam Gereja memanfaatkan, mengisi dan menyebarkan berita tak segera pula dapat dikontrol atau dikendalikan, entahkan berbuah manis bagi evangelisasi atau justru sebaliknya membatalkan niat baik dan jalan mulus Gereja menjadi terang dan garam dunia.

Menyadari realitas ini, pendidikan dan pelatihan mengenai internet harus menjadi bagian dari program komprehensif pendidikan bermedia yang tersedia bagi para anggota Gereja. Selain terus meningkatkan kemahiran menggunakan media, warga Gereja dibekali rambu-rambu kebijaksanaan etis dalam bermedia: Yang narsistik memutar haluan untuk bersibuk ria dulu mewartakan Tuhan dan kebaikanNya, yang berkonflik menghentikan perang urat saraf destruktif sosial dan mengutamakan damai, yang suka menyebarkan hoaks dan ajaran sesat kembali mempropagandakan nilai kebenaran sejati yang terus dipelihara dalam Ajaran Gereja (Magisterium) dan yang suka memanfaatkan media untuk menebar kekerasan verbalis penuh cacian dan hujatan bertobat mewartakan kasih dari pantulan kata-kata yang ia tulis pada dinding statusnya serta bahkan makin meminimalisir warga Gereja untuk tidak salah kaprah memberi like, menulis comment dan mensubscribe muatan berita yang tidak mendidik dan meresahkan.

Oleh karena jangkauan internet ini telah melibas semua lapisan sosial, maka concern atas kebutuhan dan persoalan ini bukan hanya nyata pada program-program Komsos pusat ke daerah-daerah, melainkan harus nyata pula pada program komsos lembaga gerejani dari level Keuskupan, Wilayah dan Paroki yang tanggap, peka dan antusias melihat persoalan dan kebutuhan komunikasi warga Gereja ini dalam kemasan program pelatihan yang berkwalitas secara kontinu.
……………
M. Taher